Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bermartabat jika Menyoal Kurangnya Tenaga Pendidik
BICARA permasalahan pendidikan di Indonesia tentu tidak akan ada habisnya, karena sangat sulit menemukan akar permasalahannya.
Editor: Content Writer
Larangan yang mulai berlaku sejak Desember 2021 itu dituangkan dalam Surat Edaran Kemendikbudristek No.68446/A.A3/TI.00.02/2021 tentang pemberian Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) bagi dosen non-ASN di PTN. Larangan ini malah membuat bingung komunitas kampus karena akan muncul sejumlah masalah jika ketentuan ini diimplementasikan.
Pada 2022, tercatat tak kurang dari 326,5 ribu dosen. Lebih dari 100.000 dosen mengajar di PTN, dan sebagian besar mengajar di PT swasta (PTS). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penyebaran dosen tidak merata. Jawa Timur memiliki jumlah dosen terbanyak dengan 43.827, Jawa Barat 40.720 dosen dan Jakarta 30.327 dosen.
Paling sedikit di Kalimantan Utara dengan jumlah 700 dosen. Sebuah riset terdahulu menemukan fakta bahwa banyak perguruan tinggi yang memiliki ratio tidak sehat. Riset itu menemukan fakta, satu dosen bisa mengajar 100 mahasiswa. Bahkan ada juga temuan satu dosen mengajar 750 mahasiswa.
Baca juga: Ketua MPR RI Terima Kunjungan Pengurus Perikhsa Bali dan Jawa Timur, Ini Pesan Bamsoet
Selain kurangnya tenaga pendidik, kurikulum pendidikan pun justru sering menimbulkan masalah bagi guru dan murid. Pasti menimbulkan masalah karena kurikulum yang terus diubah-ubah. Sejak 2004 --dengan kurikulum berbasis kompetensi-- hingga 2020 dengan Kurikulum Merdeka Belajar, sudah dilakukan empat kali perubahan kurikulum.
Tetapi, sebagaimana sudah dipahami semua pihak, muatan kurikulum pendidikan yang terus diubah-ubah itu sama sekali tidak responsif dengan kebutuhan anak dan remaja era terkini, yang dinamika hidup kesehariannya melekat pada akses Internet dan teknologi digital. Memprihatinkan karena sosialisasi pemahaman akan Industri 4.0 hingga artificial intelligence (AI) sangat minim. Muatan kurikulum yang tidak relevan itu menyebabkan anak dan remaja menghadapi ketikdakpastian untuk menetapkan minat dan membangun kompetensi demi masa mereka.
Pun, telah diingatkan berkali-kali bahwa digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan sudah barang tentu menghadirkan tantangan baru yang cukup rumit bagi kegiatan belajar-mengajar dalam dunia pendidikan. Karakter dan kebutuhan siswa era terkini atau Gen-Z dan Generasi Alpha, sangat berbeda dengan generasi terdahulu. Digitalisasi melekat pada anak dan remaja era sekarang. Konsekuensinya, komunitas guru dan dosen pun harus lebih melek teknologi agar dapat menjawab kebutuhan siswa. Respons pemerintah terhadap urgensi kompetensi digital para guru pun sangat lamban, bahkan terlihat minimalis.
Pada Mei 2023, seorang pejabat Kemendikbud menyajikan data bahwa dari total jumlah guru di Indonesia, baru 40 persen yang melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Sedangkan 60 persen sisanya digambarkan masih gagap dengan perubahan di era digital sekarang. Faktor ini menyebabkan derajat literasi digital pada masyarakat, utamanya komunitas anak dan remaja, tergolong rendah.
Padahal, sudah sejak tiga dekade lalu, pemerintah dan masyarakat mengenal digitalisasi. Semua mengenal digitalisasi dengan hadirnya internet dan ragam perangkat telepon digital, mobile data hingga teknologi jaringan nirkabel atau Wifi (wireless fidelity). Kegagalan merespons perubahan dengan kurikulum pendidikan yang tidak relevan menyebabkan hampir 10 juta Gen-Z kini berstatus pengangguran, karena tidak memiliki komptensi sesuai kebutuhan pasar kerja era sekarang.
Jumlah pelajar Indonesia periode 2023-2024 mencapai 53,14 juta siswa, dan 24,04 juta di antaranya adalah siswa sekolah dasar (SD). Pemerintah, melalui kemendikbudristek, mestinya sigap dengan menyediakan dan memberi akses seluas-luas kepada anak dan remaja untuk bisa mendalami ketrampilan digital sejak dini. Sebab, masa depan digitalisasi Indonesia ada di pundak anak dan remaja saat ini.
Jangan lupa bahwa Indonesia sedang butuh jutaan pekerja yang punya kompetensi digital. Bank Dunia pada tahun 2019 memperkirakan Indonesia butuh sekitar sembilan (9) juta tenaga kerja dengan keterampilan digital hingga tahun 2030. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga membuat perkiraan yang sama. McKinsey & Company pada 2019 juga telah mengingatkan bahwa per tahunnya, Indonesia akan butuh tambahan sekitar 600.000 pekerja dengan ketrampilan digital untuk mendukung dan melayani pertumbuhan ekonomi digital yang terus berkembang.
Kalau anak dan remaja ingin belajar untuk mengembangkan talenta digital-nya, mereka bertanya kepada siapa dan belajarnya di mana? Masyarakat merasakan bahwa informasi tentang hal ini sangat minim. Kominfo memang punya program Digital Talent. Sayangnya, sosialisasi program digital Talent Kominfo itu sangat minim sehingga tak mampu menjangkau 53,14 juta siswa yang tersebar di seluruh Indonesia.
Itulah sebagian masalah yang kini menyelimuti dunia pendidikan nasional. Masalah kurangnya tenaga pendidik, kompetensi digital para guru hingga masalah kurikulum yang tidak responsif dengan perubahan. Bagi mereka yang peduli akan martabat dan masa depan anak-remaja, sangat relevan untuk selalu menyoal rangkaian masalah tersebut.
Kalau hanya sekedar merubah-ubah peraturan terus menerus dan meninggikan ego sektoralnya, ya sulit untuk mencapai tujuan nasional pendidikan kita. Alih-alih bisa mencapai rasio jumlah guru dan dosen di Indonesia serta rasio guru besar di perguruan tinggi, malah bisa jadi sebaliknya. Dalam beberapa tahun mendatang Indonesia akan menghadapi paceklik guru, dosen dan guru besar dalam jangka waktu yang lama.
Baca juga: Bamsoet Apresiasi Gelaran A Night with dMasiv di Parle Senayan Resto and Cafe Jakarta
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.