Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bermartabat jika Menyoal Kurangnya Tenaga Pendidik
BICARA permasalahan pendidikan di Indonesia tentu tidak akan ada habisnya, karena sangat sulit menemukan akar permasalahannya.
Editor: Content Writer
Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Borobudur, Unuversitas Trisakti, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)
TRIBUNNEWS.COM - BICARA permasalahan pendidikan di Indonesia tentu tidak akan ada habisnya, karena sangat sulit menemukan akar permasalahannya. Sementara kita sangat memamahi, pendidikan merupakan hal terpenting negara dapat berkembang dengan cepat. Sebuah negara besar akan memperlakukan pendidikan sebagai prioritas utama.
Karena melalui pendidikan, kemiskinan masyarakatnya akan terhapuskan dan tergantikan dengan kesejahteraan. Namun dalam proses pengembangan pendidikan di Indonesia, kita masih menghadapi banyak permasalahan di setiap tahapannya. Permasalahan ini hanya dapat diselesaikan dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan. Tidak berjalan sendiri-sendiri dengan pikiran dan ego sektoralnya.
Tulisan Prof Abdul Haris, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi RI di sebuah harian nasional tentang 'Kebesaran Guru Besar' sangat menarik. Menurut Prof Haris, Guru besar adalah kata yang tak terpisahkan dari dosen, berasal dari kata 'docent' dalam bahasa Belanda berarti guru. Sementara Sebutan Profesor berasal dari bahasa Latin yang artinya seseorang yang dikenal oleh publik berprofesi sebagai pakar atau sering disingkat dengan 'Prof'.
Di Indonesia profesor merupakan seorang dosen dan/atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga-lembaga/institusi pendidikan perguruan tinggi (universitas, institut ataupun sekolah tinggi). Gelar Profesor sering disebut juga Guru Besar) merupakan jabatan fungsional, bukan gelar akademis. Ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 Butir 3, menyebutkan bahwa profesor atau guru besar adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
Prof Haris benar, bahwa profesor atau guru besar di Indonesia patut bersyukur karena pengangkatannya dilakukan oleh negara berdasarkan usulan perguruan tinggi. Artinya mereka di angkat untuk kepentingan bangsa dan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Namun, seringnya perubahan peraturan yang selalu menjadi dilema antara upaya memperbanyak jumlah guru besar berkualitas untuk memenuhi rasio jumlah dosen dengan pengetatan aturan yang berpotensi menghambat tercapainya rasio guru besar yang ideal.
Harus diakui jumlah profesor atau guru besar di Indonesia masih sangat sedikit. Kurang dari 6.000 dari total keseluruhan dosen yang berjumlah sekitar 300.000 orang dari 4.000 an Perguruan Tinggi yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Dari jumlah itu, yang terdaftar di Science and Technology Index (Sinta) milik Kemenristekdikti hanya sebanyak 4.200 an orang. Jadi, terdapat sebanyak 1.000 an profesor atau guru besar yang tak terdaftar di Sinta.
Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia idealnya memiliki rasio profesor (guru besar) sebanyak 20 persen dari jumlah dosen yang ada. Namun hal tersebut belum dapat dipenuhi oleh hampir semua perguruan tinggi di Indonesia. Selain sulitnya persyaratan untuk mengajukan jabatan guru besar, antara lain minimal memiliki jurnal internasional bereputasi, para dosen juga masih disibukkan dengan jam mengajar dan kegiatan administratif dalam rangka pengembangan institusi, sehingga persyaratan untuk menjadi guru besar masih sulit dipenuhi para dosen, selain proses pengurusan yang dirasakan para dosen tidak sederhana dan birokrasipun belum mendukung.
Data dari Lembaga layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah III DKI Jakarta menunjukkan total profesor di LLDikti III jumlah guru besar kurang proporsional dibandingkan total dosen.
Sungguh bermartabat jika saat ini kita harus lebih peduli dan menunjukan kemauan untuk menyoal darurat kekurangan tenaga pendidik, daripada mempertontonkan sikap ego sektoral yang pada akhirnya menjadi kontraproduktif bagi upaya kita dalam membangun bangsa.
Hari-hari ini, tidak lagi menjadi rahasia umum, Indonesia dibayangi darurat kekurangan tenaga pendidik pada semua jenjang pendidikan. Fakta ini mestinya menjadi prioritas masalah yang menuntut kepedulian semua pihak demi masa depan anak dan remaja.
Baca juga: Bamsoet Tekankan Pentingnya PP tentang Perizinan Senjata Api Beladiri Sipil Non-Organik TNI/Polri
Per September 2023, pejabat Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi) memublikasikan data perkiraan tentang potensi kekurangan tenaga guru. Sepanjang tahun 2024 ini, Indonesia kekurangan 1,3 juta tenaga guru, karena banyaknya guru yang memasuki usia pensiun. Per 2022-2023, ada 3,3 juta guru di sekolah negeri. Dari jumlah itu, per tahunnya, diperkirakan tak kurang dari 70.000 guru akan pensiun.
Upaya menambah tenaga guru dalam jumlah signifikan akan sulit terwujud. Alasannya, sebagai profesi, menjadi guru kurang diminati orang muda. Jika tidak segera dihadirkan kebijakan yang solutif, Indonesia akan terperangkap pada situasi darurat kekurangyaan guru.
Kecenderungan yang sama juga menggejala di perguruan tinggi. Kesenjangan jumlah dosen dan mahasiswa sudah lama menjadi fakta di sejumlah perguruan tinggi. Minimnya penambahan jumlah dosen berbanding terbalik dengan jumlah mahasiswa baru yang terus bertambah setiap tahunnya. Dan, sejauh ini, belum ada kebijakan yang mengarah pada upaya penambahan jumlah dosen. Sebaliknya, pemerintah pada 2021 justru menghadirkan larangan bagi perguruan tinggi negeri (PTN) mengangkat dosen tetap non-ASN.