Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Paradoks Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

Kunjungan Paus Fransiskus SJ, yang bernama lahir Jorge Mario Bergoglio, ke Indonesia mulai 3-6 September 2024 adalah momentum yang dinanti sekian lama

Editor: Dodi Esvandi
zoom-in Paradoks Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia
AFP/BAY ISMOYO
Paus Fransiskus (tengah, di kursi roda) disambut saat kedatangannya di Bandara Internasional Soekarno Hatta di Jakarta pada 3 September 2024. 

Para gembala umat Katolik Indonesia memilih bertekun pada profetik: menjalani tugas kerasulan diakonia (pelayanan), kerygma (pewartaan), liturgi (ibadat), dan martyria (semangat kenabian).

Sekaligus menjaga keselarasan hidup dengan lingkungan.

Sikap KWI bukan hal aneh, apalagi Paus Fransiskus mendorong “ekologi integral” dalam ensiklik kedua-nya: ‘Laudato Si' yang salah satunya menyoroti peran bahan bakar fosil dalam menyebabkan perubahan iklim.

Dan soal tambang ini, para imam Katolik memahami kompleksitas pertambangan karena merupakan bagian mendasar dari rantai pasokan global yang menghubungkan masyarakat, negara, dan bisnis.

Pada sisi lain, pertambangan disadari memiliki ekses bagi daerah dan komunitas tertentu, seringkali di daerah terpencil yang jauh dari pengawasan dan di wilayah-wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat atau masyarakat terpinggirkan lainnya.

Baca juga: Suasana Jelang Kedatangan Paus Fransiskus di Istana Merdeka Jakarta

Keberpihakan Gereja Katolik pada perjuangan melawan eksplorasi alam cukup panjang.

Sejumlah penambangan logam di Amerika Selatan hingga Asia gigit jari.

Berita Rekomendasi

Sementara di Indonesia, gereja Katolik tak malu-malu ada di balik gerakan Kendeng, Manggarai (Flores) dan lain-lain.

Bukan rahasia lagi kecenderungan eksplorasi tambang menempatkan warga negara menjadi subordinat di hadapan negara.

Apalagi negara, sebagaimana disebutkan Weber, menjelma menjadi sistem kekuasaan yang absolut.

Jika di masa Orde Baru, warga yang menolak tambang akan diberi stempel komunis, maka di masa kini, masyarakat penolak tambang, tanpa diberikan pengakuan (rekognisi) dan ruang dialog langsung diberi cap: anti pembangunan.

Tekanan yang diberikan negara bagi warganegaranya tak hanya dilakukan melalui kekerasan fisik di ruang nyata, namun juga di dunia maya melalui pendengung (buzzer) yang mengaburkan kebenaran di ranah media sosial.

Maka benarlah jika Yuval Noah Harari menyatakan kehidupan era revolusi digital justru melahirkan kedigdayaan Homo Deus dengan mencerabut eksistensi Homo Sapiens untuk hidup harmoni saling memerlukan.

Saya rasa, pembicaraan tentang tambang yang ramah alam dan manusia juga menjadi salah satu hal yang harus dengan pintar disampaikan Presiden Jokowi, saya percaya fatwa Paus akan menjadi modal melunturkan sikap keras Uni Eropa pada Indonesia.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas