Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kotak Kosong dan Dinasti Politik Gerus Kualitas Demokrasi dari Pilkada Serentak Terbesar di Dunia
Hingga kini, sudah terdapat 1.518 pasangan calon (paslon) yang mendaftar baik yang diusung partai politik atau calon independen.
Penulis: Yulis Sulistyawan
Editor: Yulis
Calon tunggal kini juga menuai permasalahan. KPU sebagai penyelenggara Pemilu, diminta untuk tidak mencetak surat suara hanya satu pasang calon, melainkan juga menempatkan kotak kosong di kertas suara.
Pendiri Perludem yang aktif mengajar di Universitas Indonesia, Titi Anggraini menyebut, fenomena kotak kosong atau None of The Above (NOTA) adalah sah dan juga diberlakukan di negara lain saat hanya terdapat calon tunggal. Anggota Bawaslu RI Fuadi juga menyatakan, rakyat yang memilih kotak kosong adalah sah.
Kotak kosong bisa menjadi saluran ekspresi rakyat, lantaran calon yang mengikuti Pilkada terbatas pada satu paslon yang belum tentu paslon tersebut bisa mewakili harapannya.
Di dunia digital yang makin familiar, masyarakat kini dengan mudah mendapatkan informasi tentang kualitas, integritas dan kompetensi paslon.
Kemenangan kotak kosong di Pilkada Makassar pada tahun 2018 bisa menjadi pelajaran. Ketika itu, hanya ada paslon yakni Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu).Saat Pilkada digelar, surat suara Appi-Cicu disandingkan dengan gambar kosong. Hasilnya, pasangan Appi-Cicu total mendapatkan 264.071 suara dan kotak kosong 300.969 suara.
Fenomena lain yang mirip kotak kosong adalah gerakan coblos semua calon lantaran kandidat yang surveinya tertinggi, malah tidak ada parpol yang mencalonkan. Seperti gerakan Anak Abah di Pilgub Jakarta yang kini terus mengalir lantaran Anies tak ada yang mengusung.
Baca juga: Pilkada Digelar Ulang pada Tahun 2025 Jika Kotak Kosong Menang, KPU Segera Susun Rancangan Jadwal
Ini menjadi pelajaran berharga untuk partai politik, bahwa koalisi gemuk yang tujuannya untuk memenangkan paslon tertentu, bisa menjadi bumerang demokrasi. Satu sisi rakyat melawan dengan cara memilih kotak kosong, atau justru rakyat sengaja mencoblos semua kandidat lantaran parpol tak menghiraukan keinginan rakyat.
Dinasti politik juga berandil atas turunnya kualitas demokrasi. Politik dinasti atau tepatnya mengusung kandidat dari keluarga penguasa, dapat mengakibatkan rakyat enggan memilih atau justru memilih semua kandidat sehingga surat suara tidak sah menjadi besar.
Oleh karena itu, sudah saatnya partai politik kembali ke khitah bahwa partai didirikan untuk menjadi saluran aspirasi rakyat, bukan saluran aspirasi penguasa.
Parpol harus bisa menjaring suara rakyat dengan berbagai metode sepertin survei,polling dan atau parpol turun langsung menjaring keinginan rakyat.
Sudah saatnya di internal partai politik, menggelar semacam konvensi agar bisa menjaring calon kepala daerahnya dan sekaligus menguji para kandidat calon. Perlu dibikin semacam pemilu internal agar anggota atau kader Parpol bisa ikut menentukan siapa calon terbaik yang akan diusung.
Bukan calon yang tiba-tiba dimunculkan dan lalu disetujui beramai-ramai oleh parpol karena calon tersebut adalah merepresentasikan keinginan penguasa atau keinginan ketua umum partai politiknya.