Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Sumpah Pemuda: Tekanan Atas Kelas Menengah, Himpitan Ekonomi, dan Desakan Kebijakan

96 tahun telah berlalu. Apakah rasa kebangsaan tersebut masih menjiwai semangat dari jiwa-jiwa muda saat ini?

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Sumpah Pemuda: Tekanan Atas Kelas Menengah, Himpitan Ekonomi, dan Desakan Kebijakan
Kemendikbud.go.id
Ilustrasi Gedung Museum Sumpah Pemuda. 

Penulis:  Eva Nila Sari (Pegawai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) 

SUMPAH PEMUDA dirumuskan melalui sebuah putusan Kongres Pemuda (kedua) di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928 lalu, merupakan ikrar kebangsaan dari kelompok pemuda Indonesia kala itu yang berasal dari berbagai latar belakang daerah, suku, dan agama, yang menyatukan keyakinan mereka bahwa tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan yang mereka yakini adalah Indonesia.

Keyakinan ke-Indonesiaan ini diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya yaitu kemauan sejarah, bahasa, hukum, adat, pendidikan dan kepanduan. 

Tak terbantahkan, bahwa komitmen kebangsaan ini mengandung makna agar pemuda-pemudi Indonesia senantiasa mencintai tanah air Indonesia, menjaga dan merawat persatuan sebagai sebuah bangsa, serta menjunjung penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

96 tahun telah berlalu. Apakah rasa kebangsaan tersebut masih menjiwai semangat dari jiwa-jiwa muda saat ini? Ataukah telah bergeser atau dimanivestasikan dalam bentuk lain seiring kompleknya problematika dan dinamika kekinian? Atau kondisi memang terasa sulit bagi mereka sehingga kontribusi kebangsaanpun terancam melemah? 

Kelompok Muda di Indonesia identik dengan kelompok Kelas Menengah karena Kelas Menengah di Indonesia didominasi oleh kalangan penduduk usia produktif, mulai dari Gen X, Milenial, hingga Gen Z. 

Data ekonomi yang akan diuraikan lebih lanjut menunjukkan bahwa kelas ini tidak dapat menghindari kondisi himpitan ekonomi yang semakin menjerat. Sayangnya, tidak berhenti hanya di sini, himpitan atas Kelas Menengah masih harus ditambah dengan desakan kebijakan (Pemerintahan Jokowi). 

BERITA REKOMENDASI

Sebut saja biaya-biaya (baca: pajak, iuran wajib, dan pengetatan subsidi) yang semakin intens. PPN naik 12 persen, bangun rumah sendiri kena pajak 2,4% tahun 2025, iuran BPJS yang akan mengalami kenaikan, harga BBM dan LPJ 3 kg yang akan dinaikkan, terhitung sejak 2025 UMKM tidak lagi bisa menggunakan tarif PPh final 0,5% (1 juta UMKM), Januari 2025 motor dan mobil wajib asuransi, gaji pekerja dipotong lagi untuk program pensiun baru, kenaikan harga eceran beras (2024) paling tinggi sejak 2011 (inflasi 20% year on year), dan wajib potong Tapera 3% untuk gaji pekerja di atas UMR. 

Apabila kondisi ini terus berlangsung atau bahkan bertambah, tak terbantahkan, Kelas Menengah tengah dimiskinkan karena menanggung biaya lebih besar ketimbang kelas atas bahkan kelas bawah sekalipun. 

Apakah ekonomi Indonesia baik-baik saja? 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12 persen (month to month/mtm) secara bulanan pada September 2024. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024. Kondisi ini terjadi karena ada penurunan harga-harga komoditas yang bergejolak.

Ia menyebut deflasi September 2024 menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir sepanjang kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 


Terkait hal ini, para Menteri Kabinet Jokowi mempunyai penilaian beragam. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menilai deflasi merugikan petani dan pedagang yang tidak dapat menikmati harga jual secara optimal.

Menteri Peridustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan ketidaknyamanannya atas deflasi dan menyalahkan membludagnya barang-barang impor yang masuk ke Indonesia yang memicu terjadinya deflasi. Lama kelamaan, kondisi ini, katanya, akan memicu inflasi atas produk-produk lokal. 

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan deflasi yang terjadi masih tergolong positif karena menjaga daya beli masyarakat khususnya kelas menengah yang pengeluaran untuk biaya makan paling besar.

Terlepas dari itu, lanjutnya, indikator daya beli masyarakat juga harus dilihat dari banyak sisi al. indeks kepercayaan konsumen (consumer confidence index) dan indeks ritel. Ia menyebut indeks-indeks itu masih di level stabil.

Sebagian menilai deflasi baik karena turunnya harga-harga sehingga mudah diakses oleh daya beli masyarakat (supply pust deflation).

Akan tetapi deflasi tidak baik-baik saja apabila terjadi akibat menurunnya daya beli masyarakat (demand push deflation) khususnya kelas menengah. Warga kelas menengah memang menjadi penguasa utama konsumsi masyarakat.

Sebagaimana diberitakan, gelombang pemutusan hubungan kerja di berbagai sektor industri diperkirakan bakal terus membesar hingga mencapai di atas 70.000 pegawai pada akhir tahun 2024.

Menurut ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana (BBC News Indonesia 12 September 2024), kondisi ini menandakan bahwa tidak ada bisnis yang aman dari risiko PHK.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Elly Rosita, menyebut sejak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada tahun 2020, belum ada pembukaan pabrik baru yang bisa menyerap ribuan tenaga kerja.

Sebelumnya Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah PHK dari Januari hingga akhir Agustus 2024 mencapai 46.240 pekerja. Meski ada tren kenaikan, tapi Kemnaker masih berharap angka PHK tidak lebih tinggi dari tahun lalu yang mencapai 64.000 pekerja.

Kelas Menengah Terhimpit

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dalam laporan Indonesia Economic Outlook 2024 for Q3 2024 menyebutkan bahwa kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara, dengan andil 50,7 persen dari penerimaan pajak. Sedangkan calon kelas menengah memberikan kontribusi 34,5 persen.

“Jika daya beli mereka menurun, kontribusi pajak mereka berkurang yang berpotensi mengurangi rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan pembiayaan proyek pembangunan,” dikutip dari laporan tersebut.

Hal ini menjadi ironi, karena maju atau tidaknya negara sangat ditentukan dengan banyak atau sedikitnya kelompok kelas menengah. Bambang Brodjonegoro dalam pernyataannya selaku Kepala Bappenas pada 22 April 2019, menyatakan bahwa salah satu ciri negara maju adalah penduduknya didominasi kelas menengah

BPS telah menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat khususnya kelas menengah tengah tergerus. Menurut BPS, proporsi kelas menengah pada 2024 tinggal 17,13 persen saja. Turun tajam dibandingkan posisi tahun 2019 yaitu 21,45 persen. 

Bahkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari Survei Konsumen Bank Indonesia, yang kerap digunakan pemerintah sebagai legitimasi bahwa daya beli masyarakat baik-baik saja, juga menunjukkan penurunan. IKK pada September 2024 turun di level 123,5 dari sebelumnya 124,4 pada Agustus 2024.

Akan tetapi angka IKK di atas 100 masih menunjukkan optimisme. 

Terkait penurunan kelas menengah, BPS telah mencatatkan tren selama 5 tahun terakhir. Penurunan kelas menengah pertama kali terjadi pada masa pandemik Covid 19.

Saat 2019, kelas menengah masih pada kisaran 21,45?ri total penduduk Indonesia. Saat ini (2024) hanya pada angka 17,44% saja. 

Secara jumlah, penduduk kelas menengah pada tahun 2019 mencapai angka 57,33 juta orang, 2021 sejumlah 53,83 juta orang, 2022 sebanyak 49,51 juta orang, 2023 sebanyak 48,27 juta orang, dan pada tahun 2024 sejumlah 47,85 juta orang (17,44%). 

BPS menggunakan acuan Bank Dunia yang menilai standar kelas berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan.

Kelompok menuju kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran bulanan 1,5 hingga 3,5 kali garis kemiskinan, sedangkan kelompok kelas menengah adalah mereka dengan pengeluaran bulanan 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan.

Dengan acuan tersebut, kelompok kelas menengah pada tahun 2024 adalah mereka dengan pengeluaran bulanan Rp 2,04 juta hingga Rp 9,9 juta.

Pemerintah: Penurunan Kelas Menengah Akibat Pandemik Covid 19

Menteri Keuangan Sri Mulyani pada wawancara di Bulan Oktober 2024 lalu menyatakan bahwa penurunan kelas menengah karena tertekan oleh kenaikan harga atau inflasi.

"Dengan inflasi tinggi, maka garis kemiskinan naik, mereka tiba-tiba akan jatuh ke bawah," katanya.

Terkait hal ini, Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono, mengatakan persoalan kelas menengah bakal menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto. 

Keponakan Prabowo itu mengatakan persoalan jumlah kelas menengah turun lantaran saat pandemi covid-19 banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Ia menilai penurunan kelas menengah bukan karena kebijakan pemerintah yang salah.

Ia mengatakan masalah kelas menengah menjadi fokus Kemenkeu. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) katanya tengah mencari solusi agar kelas menengah bisa tumbuh usai pandemi covid-19.

"Kalau di BKF istilahnya scarring effect dari pandemi. Sekarang bagaimana scaring effect itu kita setop. Itu perlu pendalaman yang lebih mendalam karena kita tahu kelas menengah butuh perhatian khusus," imbuhnya.

Tekanan Ekonomi, Tekan Kelas Menengah 

Lantas apa sebenarnya penyebab penurunan kelas menengah?

GDP/ PDB Indonesia didorong oleh konsumsi rumah tangga. Pada sebagian besar negara maju, konsumsi didorong oleh kelompok kelas menengah. Menurunnya konsumsi kelas menengah sangat terkait dengan rendahnya daya beli kelompok ini

Perlu diketahui bahwa telah terjadinya pergeseran prioritas pengeluaran kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Proporsi pengeluaran untuk makanan, iuran atau pajak, dan perumahan meningkat pada tahun 2024 dibandingkan tahun 2019.

Sebaliknya, pengeluaran untuk hiburan mengalami penurunan dari 0,47 persen menjadi 0,38 persen, begitu pula untuk pengeluaran kendaraan yang menurun dari 5,63 persen menjadi 3, 99 persen.

Hal ini mengindikasikan adanya tekanan ekonomi yang menyebabkan kelas menengah lebih fokus pada kebutuhan pokok. Desakan tersebut turut menggerus daya beli masyarakat yang penurunannya mulai tampak sejak tahun lalu.

Penurunan jumlah kelas menengah juga sejalan dengan pergeseran lapangan pekerjaan kelas tersebut. Pada tahun 2019 hingga 2024, angka kelas menengah yang memiliki pekerjaan formal terus menurun sedangkan mereka yang bekerja secara informal justru mengalami kenaikan.  

Dalam hal sektor lapangan pekerjaan, terjadi pula pergeseran. Proporsi kelas menengah yang bekerja pada sektor pertanian meningkat dari 15,14 persen pada tahun 2019 menjadi 19,97 persen pada tahun 2024.

Sebaliknya, proporsi yang bekerja pada sektor jasa menurun dari 59,22 persen menjadi 57,05 persen, dan proporsi yang bekerja pada sektor manufaktur menurun dari 25,64 persen menjadi 22,98 persen.

Pergeseran ini menandakan migrasi dari kelas menengah ke sektor pertanian sejak pandemi muncul.

Dengan memisahkan sektor jasa dan manufaktur, sektor pertanian memang erat dengan pekerjaan informal. Masalahnya, pekerjaan informal membuat kelas menengah tidak memiliki jaminan perlindungan sosial yang memadai dan penghasilan dari pekerjaan informal juga sering luput dari potongan pajak.

International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional mengemukakan tingkat pengangguran Indonesia tertinggi di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini dijabarkan melalui laporan World Economic Outlook yang terbit April 2024.

IMF mendefinisikan unemployment rate sebagai persentase penduduk di usia produktif yakni 15-64 tahun yang sedang mencari pekerjaan.

Mengutip World Economic Outlook, dari 279,96 juta penduduk Indonesia, sekitar 5,2 persennya adalah pengangguran. Posisi ini lebih rendah 0,1 persen dari data tahun lalu yakni 5,3 persen.

Di bawah Indonesia ada Filipina dengan tingkat pengangguran 5,1 persen. Posisi terakhir ditempati oleh Thailand dengan 1,1 persen dan menjadi negara dengan tingkat pengangguran terendah di dunia. Sebagai catatan Myanmar, Kamboja, Laos, dan Timor Leste tidak masuk ke dalam daftar karena tidak ada data yang tersedia.

Singkat kata, tidak dapat dipungkiri bahwa penurunan kelas menengah tak terlepas dari menurunnya perekonomian nasional yang telah menyebabkan terbatasnya peluang kerja utamanya di sektor formal. 

Ekonomi memang mengalami pertumbuhan, namun sektor mana yang sebenarnya tumbuh? Pasalnya, tingkat ketimpangan di negeri ini masih cukup tinggi. Fakta ini disampaikan oleh data BPS yang menyatakan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia (kelompok kaya dan miskin) menggunakan gini ratio pada Maret 2023, meningkat sebesar 0,388 poin. Angka ini tertinggi sejak September 2018 yang kala itu pada angka 0,384. 

Majunya Negara, Tingginya Kelas Menengah

Statistik Korea Selatan merilis survei yang mengungkap peningkatan persentase orang yang menganggap diri mereka kelas menengah, mencapai 60% pada tahun 2021.

Kelas menengah di Singapura muncul dalam waktu yang sangat singkat, hanya satu generasi. Kelas menengah ini mencakup hingga 40 persen dari angkatan kerja negara tersebut, dan sebagian besar terdiri dari orang-orang berpendidikan tinggi yang memiliki gelar universitas dan gelar yang lebih tinggi serta fasih berbahasa Inggris.

Berdasarkan klasifikasi tingkat pendapatan Pew, kelas menengah China merupakan salah satu yang paling cepat berkembang di dunia, meningkat dari 39,1 juta orang (3,1 persen dari populasi) pada tahun 2000 menjadi sekitar 707 juta (50,8 persen dari populasi) pada tahun 2018. Saat ini Tiongkok memiliki kelas menengah terbesar di dunia, dengan 693,3 juta orang, atau sekitar 53?ri total global.

Kelas menengah mencakup 50?ri populasi Amerika Serikat pada tahun 2021, jauh lebih kecil dibandingkan jumlah sebelumnya dalam hampir setengah abad.

Akan tetapi tidak sedikit pula negara-negara di dunia yang tidak memiliki kelompok kelas menengah. Sebut saja hampir seluruh negara Amerika Selatan, negara-negara pasca Soviet, negara-negara pasca komunis Eropa Timur, sebagian besar Afrika dan seluruh Timur Tengah kecuali Israel. 

Fenomena kelas menengah Indonesia seharusnya menjadi perhatian. Kelompok penopang ini selayaknya bisa lebih sejahtera. Reuters dengan artikel berjudul “Indonesia’s dwindling middle class seen dimming economic outlook” (September 2024), memuat fakta bagaimana PHK saat ini banyak terjadi dan menyasar kelompok menengah. Dikatakan bahwa jutaan pekerja kelas menengah RI kini menjadi lebih miskin. 

Lebih lanjut, disebutkan meskipun perekonomian Indonesia telah bangkit kembali setelah pandemi, dengan pertumbuhan sekitar di atas 5% per tahun sejak tahun 2022 di tengah inflasi yang secara umum rendah. Menyusutnya kelas menengah dikhawatirkan akan menekan pertumbuhan di masa depan, karena pemerintah harus menghadapi pendapatan pajak yang lebih rendah dan kemungkinan subsidi lebih besar. 

Hal sama disoroti media Singapura, Channel News Asia (CAN). Disebut bagaimana kelas menengah Indonesia kini memburuk dan memicu peringatan bagi ekonomi negeri.

Sumpah Pemuda, Bangkitkan Kembali Komitmen Kebangsaan? 

Sebagaimana disebutkan di atas, Kelas menengah Indonesia didominasi oleh kalangan penduduk usia produktif, mulai dari Gen X, Milenial, hingga Gen Z. Mereka ini adalah Kelompok Pemuda/Pemudi Indonesia yang mempunyai kontribusi besar kepada bangsa ini, baik dari aspek pemikiran maupun kontribusinya secara ekonomi. 

Pada konteks Sumpah Pemuda dideklarasikan, problematika yang mereka alami adalah hegemoni para penjajah.

Saat ini, apakah rasa sebagai warga negara jajahan itu masih mereka rasakan? Semoga kita tidak sedang mengalami situasi sebagai bangsa yang belum merdeka karena mengalami penjajahan dalam bentuk lain.

Pada momen sumpah pemuda ini, berdasarkan data yang telah diungkapkan di atas, ekonomi Indonesia memang tidak baik-baik saja.

Tak terbantahkan pula kelas menengah di Indonesia tengah terdesak akibat himpitan ekonomi dan tekanan kebijakan. Semoga Pemerintahan Prabowo ke depan lebih bijak menyikapi keberadaan kelompok kelas menengah ini. Tidak melanjutkan kebijakan yang memiskinkan kelompok masyarakat yang strategis mendorong kemajuan negeri ini. (Eva Nila Sari) 

 

 

 

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas