Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Prioritaskan Reformasi Ekonomi Sebelum Jalankan Hilirisasi: Hanya Untungkan Oligarki
Di Indonesia 1 persen pemilik tanah terbesar menguasai hampir 60 persen dari total tanah di Indonesia,
Editor: Choirul Arifin
Prioritaskan Reformasi Ekonomi Sebelum Jalankan Hilirisasi: Hanya Untungkan Oligarki
Oleh: Adrian Farhan Mubarok
KETIKA Indonesia berhasil menumbangkan rezim Orde Baru pada tahun 1998, harapan besar tertuju pada perubahan menyeluruh di berbagai aspek, terutama politik dan ekonomi.
Reformasi politik kemudian mengantar Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, sementara reformasi hukum berupaya membangun institusi yang lebih transparan dan akuntabel.
Namun, apa yang diharapkan dari reformasi ekonomi? Harus diakui bahwa keberhasilan reformasi politik dan hukum tampaknya belum tercermin dalam ekonomi nasional kita.
Ekonom senior Indonesia, Faisal Basri, pernah menyebutkan bahwa Indonesia belum benar-benar mengalami reformasi ekonomi yang sesungguhnya.
“Sistem yang ada sekarang ini hanya memodifikasi yang lama,” ujarnya dalam salah satu seminar ekonomi di Universitas Indonesia pada 2019. Meskipun ada beberapa perbaikan di bidang keuangan dan kebijakan fiskal, ketimpangan ekonomi tetap menjadi persoalan besar.
Dalam Laporan World Inequality Database (WID) tahun 2023, tercatat bahwa kekayaan 1 persen orang terkaya di Indonesia mencapai lebih dari 50% total kekayaan nasional.
Ini menunjukkan ketimpangan yang sangat tinggi di mana keuntungan pertumbuhan ekonomi sebagian besar hanya dinikmati oleh elit kecil.
Fakta ini memperkuat pandangan Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, yang menekankan bahwa “ketimpangan bukanlah hasil yang tak terhindarkan dari pertumbuhan ekonomi, melainkan hasil dari kebijakan yang dibuat untuk memberi manfaat bagi segelintir orang.”
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, dari minyak bumi, gas alam, hingga mineral langka. Sayangnya, kekayaan ini justru menjadi sumber ketimpangan yang parah.
Menurut laporan dari Natural Resource Governance Institute (2022), sektor-sektor sumber daya alam di Indonesia masih didominasi oleh perusahaan besar dan oligarki yang memiliki akses lebih besar terhadap keputusan-keputusan kebijakan.
Baca juga: Prabowo Minta Review Aturan yang Tak Dukung Hilirisasi Hingga Swasembada: HGU Harus Berkeadilan
Seorang tokoh yang sering membahas isu ini adalah Jeffrey Winters, yang dalam bukunya Oligarchy (2011) menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu contoh paling menonjol tentang bagaimana kekuasaan oligarki memengaruhi kebijakan ekonomi.
"Kekayaan terkonsentrasi pada kelompok kecil, dan mereka memiliki akses untuk mengarahkan arah kebijakan negara," tulisnya.
Dominasi oligarki ini menyebabkan distribusi kekayaan yang tidak adil, di mana sebagian besar rakyat Indonesia—terutama yang tinggal di pedesaan—tidak mendapatkan akses terhadap sumber daya yang sebenarnya bisa membantu mereka keluar dari kemiskinan.
Dari sisi agraria, situasi lebih parah. Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2023, disebutkan bahwa 1% pemilik tanah terbesar menguasai hampir 60?ri total tanah di Indonesia, sementara petani kecil dan masyarakat adat terus terdesak dan kehilangan akses terhadap tanah mereka.
Baca juga: Pengarahan Prabowo di Akademi Militer, Bima Arya: Lanjutkan Hilirisasi dan Jangan Mau Didikte Asing
Keadaan ini memunculkan paradoks besar di Indonesia: negara yang kaya akan sumber daya alam, namun rakyatnya tetap hidup dalam kemiskinan relatif.
Tiongkok sering kali disebut sebagai contoh negara yang berhasil dalam melakukan reformasi ekonomi besar-besaran.
Ketika Deng Xiaoping memperkenalkan kebijakan Reform and Opening Up pada akhir 1970-an, Tiongkok berada dalam kondisi yang tidak jauh berbeda dari Indonesia saat ini: negara yang kaya sumber daya alam, tetapi terjebak dalam ketimpangan dan stagnasi ekonomi.
Namun, perbedaan mencolok terlihat pada strategi yang diambil kedua negara.
Deng Xiaoping dengan cerdik mengabaikan ideologi yang terlalu kaku, fokus pada pragmatisme, dan membuka pintu bagi investasi asing dengan kebijakan yang terarah.
Dalam ungkapannya yang terkenal, "It doesn’t matter whether the cat is black or white, as long as it catches mice," Deng menunjukkan bahwa tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan rakyat, terlepas dari ideologi ekonomi yang dianut.
Tiongkok kemudian mulai membangun industri manufaktur yang kuat, melakukan investasi besar-besaran dalam infrastruktur, dan yang lebih penting, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui reformasi pendidikan dan urbanisasi.
Langkah-langkah ini membawa Tiongkok menjadi raksasa ekonomi dunia.
Antara 1980 dan 2019, Tiongkok berhasil mengangkat lebih dari 800 juta penduduknya keluar dari kemiskinan absolut—sebuah pencapaian yang sangat mengesankan dalam sejarah modern.
Bandingkan ini dengan Indonesia, di mana kebijakan reformasi ekonomi terkesan berjalan di tempat. Indonesia masih terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah, tanpa memiliki industri pengolahan yang signifikan.
Sementara Tiongkok terus berinovasi dan meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya, Indonesia justru menghadapi masalah fundamental berupa ketimpangan pendidikan dan infrastruktur yang tidak merata.
Ekonom Prancis, Thomas Piketty, dalam bukunya Capital in the Twenty-First Century menjelaskan bahwa salah satu faktor kunci keberhasilan
Tiongkok adalah bagaimana negara tersebut mengontrol konsentrasi kekayaan dengan ketat melalui kebijakan redistribusi, sesuatu yang gagal dilakukan Indonesia. Piketty menegaskan bahwa "kebijakan redistribusi yang adil dan menyeluruh diperlukan untuk mencegah ketimpangan yang membahayakan stabilitas sosial."
Hilirisasi telah menjadi jargon favorit pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pada dasarnya, hilirisasi bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dari produk mentah dengan mengolahnya di dalam negeri sebelum diekspor.
Saat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, berkali-kali menekankan bahwa hilirisasi adalah solusi bagi Indonesia untuk lepas dari ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah, terutama nikel, tembaga, dan bauksit.
Namun, seiring dengan optimisme tersebut, kita harus bertanya: apakah hilirisasi ini akan membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas, atau hanya akan memperkuat posisi oligarki yang sudah mapan?
Banyak ekonom mengkhawatirkan bahwa tanpa adanya reformasi ekonomi yang mendasar, hilirisasi justru akan menciptakan "hilirisasi elit," di mana nilai tambah dari bahan mentah tetap dinikmati oleh segelintir pemilik modal besar, bukan oleh masyarakat.
Ekonom seniot Emil Salim mengkritisi kebijakan hilirisasi yang tidak dibarengi dengan reformasi struktural.
Dalam wawancara dengan The Jakarta Post, ia menekankan, “Hilirisasi harus berjalan seiring dengan reformasi ekonomi yang lebih luas, yang mencakup redistribusi sumber daya dan peningkatan daya saing tenaga kerja lokal."
"Tanpa ini, hilirisasi hanya akan menjadi alat bagi oligarki untuk memperkuat cengkeraman mereka terhadap ekonomi nasional.”
Menghadapi kenyataan ini, Indonesia perlu segera melakukan langkah konkret untuk melakukan reformasi ekonomi yang mendalam, sebelum hilirisasi atau kebijakan lain di bidang ekonomi dapat benar-benar memberikan dampak positif yang merata.
Redistribusi tanah harus menjadi prioritas utama dalam reformasi ekonomi Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh John Stuart Mill dalam bukunya Principles of Political Economy, "kepemilikan tanah yang terdistribusi dengan adil adalah prasyarat bagi kemakmuran dan stabilitas sosial."
Di Indonesia, reforma agraria perlu dipercepat dan diperluas, dengan memberikan akses yang lebih adil kepada petani kecil dan masyarakat adat.
Tidak ada reformasi ekonomi yang berhasil tanpa adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Indonesia harus berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan untuk memastikan bahwa tenaga kerjanya mampu bersaing di pasar global.
Ekonom terkemuka Indonesia, Boediono, menekankan bahwa “tanpa peningkatan kualitas pendidikan, bonus demografi yang dimiliki Indonesia akan menjadi bumerang.”
Indonesia harus menerapkan sistem pajak yang lebih progresif untuk memastikan bahwa kekayaan yang berlebihan tidak terakumulasi di tangan segelintir orang.
Thomas Piketty berpendapat bahwa pajak progresif dan pajak atas warisan adalah cara yang efektif untuk meredistribusi kekayaan dan mengurangi ketimpangan. Indonesia perlu mengadopsi kebijakan ini untuk mendorong pertumbuhan yang lebih inklusif.
Reformasi ekonomi yang sukses memerlukan institusi publik yang kuat dan transparan. Indonesia harus meningkatkan upaya pemberantasan korupsi dan memperkuat institusi-institusi ekonomi untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar berdampak positif bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk kepentingan elit.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat bergerak menuju reformasi ekonomi yang sejati, mengatasi ketimpangan, dan memberikan manfaat yang lebih merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Hilirisasi bisa menjadi langkah penting, tetapi tanpa reformasi yang lebih mendalam, itu hanya akan menjadi sekadar jargon politik tanpa hasil nyata.
Seperti kata pepatah lama, "jangan menaruh kereta di depan kuda"—Indonesia butuh reformasi ekonomi terlebih dahulu sebelum hilirisasi dapat benar-benar membawa perubahan yang berarti.
*) Adrian Farhan Mubarok adalah kader PMII, alumni HTN UIN Bandung dan pernah nyantri di Pesantren Sukahideng.
Artikel ini sepenuhnya pendapat pribadi penulis.