Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Said Didu dan Puisi "Peringatan" Widji Thukul
Saat Said Didu diperiksa polisi gegara melancarkan kritik atas Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di Kota Tangerang, Banten.
Editor: Hasanudin Aco
Tidak Takut
Usai diperiksa selama 7 jam dengan 29 pertanyaan itu, Said Didu mengaku tidak takut. Salut!
Apa yang menimpa Said Didu pun mengingatkan kita akan puisi Widji Thukul berjudul "Peringatan". Situasi tahun 1996-1997 atau menjelang Reformasi 1998 yang tergambar dalam puisi itu mirip situasi saat ini di mana suara-suara kritis mulai dibungkam. Demokrasi pun dirusak.
Lalu, seperti apa puisi Widji Thukul yang heroik dan legendaris itu? Berikut kutipannya:
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Said Didu mengaku tidak takut. Seperti Widji Thukul, mungkin ia pun ingin berkata sambil mengepalkan tangan, hanya ada satu kata: lawan!
Hal yang sama mungkin dikatakan Maskota dalam hati ketika melaporkan Said Didu. Betapa keberaniannya luar biasa. Padahal ia "cuma" seorang kepala desa. Tapi tidak. Maskota juga seorang Ketua Apdesi Kabupaten Tangerang.
Tapi mungkin juga ia cuma bidak catur saja. Yang memainkan dia barangkali Sembilan Naga. Benarkah?