Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Gagasan Reformasi Polri harus Konstitusional Bukan Emosional
Gagasan itu tidak dapat menjawab semua problem yang sifatnya struktural dan sistemik dalam tubuh Polri
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Julius Ibrani, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia
TRIBUNNEWS.COM - Kami mendengar bahwa PDIP melalui ketua DPP, Deddy Sitorus mengusulkan sebuah gagasan untuk mengembalikan Polri ke dalam tubuh TNI.
Yang pasti gagasan itu bisa kami pahami sebagai satu gagasan yang bersifat emosional, melihat beberapa situasi di mana Polri lebih condong sebagai mesin politik atau alat politik dari penguasa.
Sementara di hadapan rakyat begitu banyak kasus-kasus kriminalisasi dan tindakan-tindakan represif, baik kekerasan pembunuhan secara melawan hukum (unlawful killing), bahkan kriminalisasi terhadap oposisi politik dan juga masyarakat pencari keadilan yang mengalami pelanggaran hak asasi.
Namun, gagasan itu tidak dapat menjawab semua problem yang sifatnya struktural dan sistemik dalam tubuh Polri.
Perlu dipahami bahwa yang menjadi kegagalan fundamental atas institusi Polri yaitu tidak hanya di level implementasi saja, melainkan sejak pada level konstitusi, di mana mandat Pasal 30 terkait dengan Pertahanan dan Keamanan tidak secara tegas dan jelas diturunkan ke dalam regulasi di bawah peraturan perundang-undangan sebagai tidak lanjut dari mandat konstitusi.
Baca juga: PAN Ingatkan Pemisahan Polri dari TNI Adalah Amanat Reformasi
Pertama, gagasan bahwa memisahkan sipil dan militer yang ditidaklanjuti dengan mengeluarkan Polri dari tubuh ABRI itu harus dipahami bahwa tugas pokok dan fungsi Polri ada pada ranah sipil, yaitu pada 3 (tiga) kewenangan.
Pertama, Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), jadi fungsi-fungsi Gakkumdu ini harus berada pada satu rezim Criminal Justice System yang sifatnya integrated antara kepolisian selaku small investigator atau penyelidik dan penyidik, dan investigator juga pada Kejaksaan selaku Penyidik dan Penuntut Umum, sekaligus pemegang kewenangan pengendali perkara, dan juga Mahkamah Agung atau Hakim selaku pemeriksa di hadapan persidangan.
Kedua, tugas-tugas ketertiban umum (Tibum) yang kaitannya dengan izin keramaian, demonstrasi dan yang lain yang harusnya berada pada rezim pemerintahan daerah karena ketertiban umum disinkronisasi dengan fungsi-fungsi Satpol PP dan semacamnya.
Apabila masih pada titik ketertiban umum yang sifatnya administrasi dan penertiban biasa, maka masih di bawah kewenangan atau ranahnya pemerintah daerah.
Namun apabila fungsi ketertiban umum itu terjadi pelanggaran hukum, baru masuk kepada fungsi Gakkumdu di bawah Polri.
Ketiga, kaitannya dengan Yanmas (Layanan Masyarakat) yang ini harusnya terlepas dari Tupoksi Polri, misalnya seperti mengurus surat izin kelakuan baik, dan hal-hal administrasi yang tidak ada kaitannya dengan fungsi Gakkumdu berbasis pelanggaran hukum dan penegakan hukum.
Pemisahan Fungsi secara Tegas: Pertahanan pada TNI (Militer) Keamanan (Gakkumdu) pada Polri (Sipil)
Nah ini yang harusnya ditindaklanjuti secara detail di bawah Pasal 30 UUD Negara Republik Indonesia Tahun '45. Bagaimana Pasal 30 itu tidak memiliki indikator yang jelas sehingga diterjemahkan secara bebasbahkan "terjun bebas", dan melenceng dari fungsi pertahanan dan keamanan itu sendiri.
Ini juga yang menjadi peluang masuk bagi TNI ke ruang-ruang sipil sehingga TNI mulai "offside" dengan melakukan penegakan hukum, TNI mulai menjaga ketertiban umum, bahkan ada di fasilitas-fasilitas publik yang sifatnya sipil seperti transportasi publik, stasiun kereta api dan segala macamnya. Ini yang harusnya digagas oleh PDIP selama 10 tahun berkuasa, ini yang harusnya digagas oleh PDIP dalam kerangka revisi (amandemen) Pasal 30 UUD Tahun 45.
Inilah yang salah, sehingga tidak heran pada tataran implementasi kemudian dia bersifat represif bahkan anti hak asasi, Karena perspektif itu tidak ada sejak konstitusi itu yang harus diperbaiki.
Kemudian, adalah DPR RI melalui Partai politik itu seharusnya menjadi satu ajang evaluasi yang rutin dan korektif terhadap performa atau level implementasi undang-undang oleh nstansi-instansi pemerintah, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ini yang belum pernah terdengar.
Selama ini kami mendengar kasus-kasus besar yang dihadapi oleh Polri, mulai dari Ferdy Sambo dan yang lain, justru disambut dengan puja-puji dan puisi.
Bahkan puja-puji dan puisi di gedung parlemen yang harusnya berisi tentang kritik keras evaluasi dan gagasan reformasi atau perbaikan ke depan.
Hal mana yang kemudian menyebabkan terjadinya impunitas Polri yang hingga terjadi repetisi atau keberulangan atas implementasi yang buruk di tubuh Polri.
Partai politik apalagi PDIP yang telah selama ini berkuasa dan saat ini masih menjadi partai yang berkuasa karena memenangkan pemilu legislatif 2024 ini, harus menggagas perubahan struktural dan sistemin Polri.
Itu yang ingin kami dengar dan itu yang dimandatkan oleh konstitusi, dan dimandatkan reformasi dan itu pula yang dapat menjamin hak asasi.