Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Transformasi Transmigrasi: Kesejahteraan untuk Semua
Transmigrasi menemukan relevansinya pada delapan butir Astacita, yang merupakan visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
M. Iftitah Sulaiman Suryanagara, Menteri Transmigrasi
TRIBUNNERS - Sejak awal kemerdekaan, para pendiri negara ("founding fathers”) ini sudah melihat transmigrasi sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kepadatan penduduk, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi di luar Pulau Jawa.
Pada Februari 1946, Wakil Presiden Bung Hatta menegaskan perlunya pemindahan penduduk sebagai tenaga kerja untuk industrialisasi besar-besaran.
Tanggal 12 Desember 1950, rombongan pertama terdiri atas 50 kepala keluarga transmigran, diberangkatkan dari Jawa Tengah menuju Lampung dan Sumatera Selatan.
Pentingnya transmigrasi ditegaskan kembali oleh Presiden Soekarno dalam Musyawarah Gerakan Transmigrasi di Jakarta pada tahun 1964. Bagi Bung Karno, transmigrasi adalah soal mati-hidup kita sebagai sebuah bangsa.
Primadona dan Salah persepsi
Program transmigrasi pernah menjadi primadona di masa lalu. Anggaran Departemen Transmigrasi pernah mencapai 9 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); dengan kemampuan menempatkan sampai 50.000 kepala keluarga per tahun.
Hingga saat ini, tercatat sudah 2,2 juta kepala keluarga atau 9,1 juta jiwa yang ikut program transmigrasi. Mereka ditempatkan di 3.606 satuan permukiman di 619 kawasan transmigrasi.
Baca juga: Industri Pesisir, Kunci Baru untuk Peningkatan Ekonomi Masyarakat Transmigrasi
Kawasan tersebut kini berkembang menjadi 1.567 desa definitif, 466 ibu kota kecamatan, 116 ibu kota kabupaten, dan 3 ibu kota provinsi.
Banyak tokoh nasional, kepala daerah, anggota parlemen, perwira tinggi TNI/Polri, dan akademisi, yang lahir dan besar dari keluarga transmigran.
Namun sayangnya, karena mengutamakan kuantitas migrasi penduduknya, kualitas transformasi kesejahteraan dan persatuannya sedikit terabaikan. Akibatnya, ada dampak sosial yang mengarah ke isu ”jawanisasi”.
Selain itu, transmigrasi juga disalahpersepsikan sebagai simbol pemerintahan lama yang perlu direformasi.
Pada tahun 2000, pemerintah menutup program transmigrasi umum, bahkan mengganti nama transmigrasi menjadi mobilitas sosial.
Sejak saat itu, tugas dan fungsi transmigrasi difragmentasi di tingkat direktorat jenderal.