Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Paus Fransiskus, Spiritualitas Seorang Pemimpin
Paus sebut pemimpin yang menjadi mediator akan mendedikasikan diri mencari berbagai solusi yang memenuhi kebutuhan (segenap unsur) dalam masyarakat
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh: RP Yosafat Ivo Sinaga OFMCap, Pemerhati Kerukunan/Pastor tinggal di Medan
Kepemimpinan Jasmani (Kuasa)
Paus Fransiskus menegaskan bahwa pemimpin punya fungsi sebagai mediator yang mampu mempertemukan kepentingan pihak-pihak dalam masyarakat, termasuk misalnya kepentingan mayoritas atau minoritas (dalam segenap dimensinya).
Sebagai contoh, seperti selama ini terjadi, pemimpin kerap bertindak bak makelar (yang tidak profesional) dengan mencari dan mencuri keuntungan (minimal popularitas dan rasa aman) dengan mengorbankan sebagian kepentingan kaum minoritas yang dianggap kurang berpengaruh. Pemimpin punya kuasa penuh dalam membuat kebijakan dan keputusan.
Paus menambahkan pemimpin yang menjadi mediator akan mendedikasikan diri mencari berbagai solusi yang memenuhi kebutuhan (segenap unsur) dalam masyarakat.
Dia akan menjembatani dan mempertemukan berbagai sumber daya, sistem, dan lainnya dalam masyarakat agar terjadi solusi dan perpaduan berbagai kepentingan yang saling melengkapi. Fungsi mediator ini disebut sebagai fungsi birokratik.
Kepemimpinan Rohani (Pelayanan)
Selama sembilan bulan pertama masa jabatannya, Paus Fransiskus berhasil "menjadi suara utama” dalam diskusi penting masa kini: mengenai masalah sosial seperti gap antara yang kaya dan miskin, keadilan, aspek sosial, transparansi, modernitas, globalisasi, peran perempuan, masalah ekologi dan nafsu kekuasaan.
Dalam suatu pertemuan dengan jurnalis di aula Audiensi Vatikan, Paus Fransiskus menekankan, "Saya ingin Gereja itu miskin dan untuk kaum miskin."
Paus Fransiskus asal Argentina yang baru saja merayakan ulang tahun ke-88, pada 17 Desember yang lalu berusaha mendorong berbagai reformasi dalam organisasi Gereja Katolik dan membawa gaya kepemimpinan baru yakni model pelayanan dan empati.
Baca juga: Paus Fransiskus ke Arsjad Rasjid: Salam Hangat untuk Indonesia
Paus untuk pertama kalinya menjelaskan pemilihan nama Fransiskus untuk mengingat St Fransiskus dari Asisi pemerhati kesederhanaan dan kemiskinan. St Fransiskus bahkan memeluk kemiskinan itu dan mudah tergerak oleh belaskasihan bila melihat sesama yang miskin.
Sejumlah pemberitaan tentang Paus Fransiskus sejak ia dipilih, mengindikasikan pilihan tegasnya pada model hidup bersahaja, sesuai dengan spirit tokoh yang ingin ia teladani, St Fransiskus dari Assisi, orang kudus yang hidup pada abad dua belas sampai dengan tigabelas di Italia dan terkenal dengan julukan “Si Miskin dari Assisi.” Fransiskus dari Asisi (1181-1226) dikenal sebagai pembela kaum miskin.
Kepada umat Katolik di seluruh dunia Paus menyerukan agar lebih aktif bertindak bagi warga miskin. Sekaligus ditekankannya, bahwa Gereja pada intinya tidak bersifat politis melainkan spiritual.
Seorang penasihat senior di Asosiasi Katolik mengatakan, "Dia bukanlah seorang Paus yang bisa dibatasi dalam sebuah kotak. Dia adalah seorang Jesuit yang sekarang dinamai Paus Fransiskus yang terikat dengan komuni dan kebebasan.
Saya tidak bisa menempatkan beliau ke dalam batas ideologi manapun. Melalui ajaran dan tindakannya, beliau akan memimpin gereja dengan sangat menakjubkan dalam sebuah penginjilan yang baru."
Sejarah perjalanan Gereja mencatat, model hidup sederhana menjadi penyanggah bagi krisis yang dialami akibat ketidaktaatan para pemimpin pada perintah Injil: membawa kebaikan bagi semua. St Fransiskus Assisi, yang adalah anak pedagang kaya di Assisi Italia menjadi penopang bagi Gereja yang hampir roboh pada zamannya, akibat krisis yang menimpa hidup para pemimpin gereja, yang glamour, mementingkan kekayaan pribadi dan tak peduli lagi apa seharusnya tugas mereka. Ia hadir membawa pembaruan dan menyadarkan Gereja akan jati dirinya. Cara hidupnya menjadi teguran keras bagi Gereja. Ia muncul sebagai tokoh revolusioner.
Paus Fransiskus juga menyerukan agar gereja lebih memperhatikan kesalehan. Ia mengatakan, Gereja Katolik harus mengadakan perubahan dan memperingatkan adanya risiko akan menjadi organisasi kemanusiaan biasa, jika kehilangan jati dirinya.
"Hidup ibaratnya jalan setapak. Jika kita berhenti, akibatnya tidak baik," dikatakan Sri Paus. Ia juga menambahkan, "Kita bisa berjalan ke mana saja, kita bisa mendirikan banyak bangunan, tetapi jika kita tidak menyampaikan pesan Yesus Kristus, maka itu adalah sebuah kesalahan. Kita hanya akan menjadi LSM yang murah hati, dan bukan gereja.” Paus sebagai model pemimpin Gereja yang tidak tampil hanya sebagai penjaga dogma, tetapi membuat wajah Gereja ‘ramah’ terhadap semua orang, di samping menggagas reformasi dari dalam tubuh hierarki.
Apa yang dilakukan Paus Fransiskus, menjadi kritik untuk model pemimpin Gereja yang kerap terlalu menjaga image, lalu lupa bahwa umat membutuhkan perhatian lebih dari sekedar pesan moral di mimbar. Umat merindukan pemimpin yang mau merasakan apa yang mereka alami, yang mau menjumpai mereka di rumah-rumah sederhana. (Ucannews.com)
Paus Fransiskus muncul di tengah sejumlah krisis kehidupan menggereja, yang sudah mulai menjauh dari cita-cita membawa keselamatan bagi semua orang, yang dalam konteks praksis, dapat diterjemahkan, merawat kepedulian terhadap mereka yang menjadi korban dari ketidakadilan, juga di tengah pola hidup sejumlah pimpinan Gereja yang tak terlalu memikirkan lagi tugas dasar sebagai gembala.
Kim Danield, direktur Catholic Voices USA, menyatakan, "Paus Fransiskus adalah seseorang yang memiliki kesucian pribadi, dan kerendahatian. Ia adalah seorang cedekiawan, rohaniwan, dan juga memposisikan dirinya sebagai penduduk luar Vatikan." Daniels juga menyatakan bahwa orang-orang beriman boleh tenang karena Paus Fransiskus akan sanggup mengikuti jejang Santo Fansiskus Asisi dalam menjawab panggilan Tuhan untuk "membangun gereja kembali".
Gereja Berdimensi Sosial
Berbicara tentang spiritualitas kepemimpinan tentu kita juga harus membahas Gereja sebagai wadah di mana kepemimpinan itu diwujudkan. Gereja adalah badan yang sedang mengembara bukan hanya di dunia rohani tetapi juga jasmani. Gereja mempunya dua rel yakni dunia dan religius.
Karena itu Gereja harus keluar dari zona mapan dan amannya. Janganlah tembok yang tinggi itu membuat Gereja semakin terasing dan jangan juga hati yang apatis itu membuat Gereja tidak dikenal dunia”. Gereja yang tidak peduli akan kehidupan sosial umatnya akan ditinggalkan oleh umatnya.
“Menjadi Katolik yang seratus persen dan Warga Negara Indonesia juga seratus persen.” Slogan yang dicetuskah oleh Uskup Soegijapranata yang filmnya diliris beberapa tahun yang lalu tetap eksis dan relefan sampai sekarang. Bahkan statement yang penuh makna itu banyak diadopsi oleh beberapa organisasi yang bernafaskan Katolik. Status seratus persen Katolik dan Indonesia mau menegaskan bahwa tidak ada pemisahan dari keduanya. Lihatlah sebuah coin atau mata uang logam. Kita bisa membedakan sisi kedua mata coin itu ketika memandangnya namun kita tidak dapat membedakan apalagi memisahkan saat menggunakannya.
Semoga Gereja kita tampil menjadi nabi masa kini yang memberkan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh umat. Problem umat, selain masalah iman tentu jug masalah hidup. Paus mengatakan, bagaimana mungkin umat konsentrasi menghadiri ibadat ketika ia mengalami kelaparan (perutnya kosong) dan ketika pikirannya diliputi kecemasan akan masa depan. Maka mengisi hatinya dengan iman (makanan Rohani) dan mengisi perut mereka dengan makanan (makanan jasmani) harus berjalan serentak. Karena itu Lembaga-lembaga sosial Gereja harus semakin gencar mencari mereka yang miskin dan membuat gerakan kemanusiaan yang membuat mereka bergembira menjalani hidup ini. Semoga