Pertunjukan Teater "Orang-orang Setia"
Menjadi orang setia tidaklah mudah. Ada banyak kompromi supaya tetap setia pada sebuah komitmen, meski kadang di ujung penantian, tak selalu indah.
Editor: Mohamad Yoenus
Orang-orang Setiaini seakan membingkai lalu mengemas kondisi orang-orang seperti Sarmin dan Rahman menjadi komedi yang getir.
Nukilan-nukilan dari dialog Sarmin dan Rahman inilah yang menjadi benang merah antara kesetiaan dengan harapan-harapan terhadap para pemegang kebijakan dari sisi rakyat jelata.
Dari Sarmin didapati gambaran, rakyat tidak pernah menuntut apa-apa, hanya sebuah pengakuan akan kesetiaan mereka menjadi rakyat.
Dari Rahman bisa digambarkan bagaimana harapan-harapan rakyat akan kondisi sosial yang diinginkan mereka.
“Man, kamu tahu tidak pemerintah itu apa? Pemerintah itu ya, Man, kalau ada acara duduk paling di depan. Datangnya belakangan, tapi kalau pulang duluan,” kata Sarmin.
Hingga pada suatu waktu, kedua orang renta ini mendapatkan undangan untuk menghadiri penghargaan dari gubernur atas kesetiaan mereka mengabdi pada negara.
Mereka pun bersuka cita di malam sebelum hari H. Mulai dari flashback kehidupan mereka sampai bagaimana bersikap yang patut di depan gubernur.
Namun, lagi-lagi kegetiran diekspos secara vulgar oleh Orang-orang Setia ini.
Kegetiran yang membuat para penonton, mau tidak mau, harus setuju dan kembali ke realitas di kehidupan nyata.
Di saat Sarmin dan Rahman sibuk bersiap diri untuk menghadiri undangan penghargaan, komplek tempat mereka tinggal digusur.
Rumah sederhana mereka porak-poranda. Buku bertebaran. Tembok papan bergelimpangan.
Mereka pun hanya bisa tertawa karena mengalami kejadian tersebut.
Tertawa yang sama ketika Sarmin mengakui bahwa undangan penghargaan itu adalah buatannya, sama seperti piagam-piagam yang mereka buat sendiri yang terpampang di rumah mereka yang hancur.
Kegetiran makin terasa dengan adanya spot view pada pakaian Sarmin dan Rahman yang dibuang di tengah panggung dan membentuk bendera merah putih di antara puing-puing rumah dan harapan mereka.
Kegetiran yang membuat tertawa dan terpaksa menerima apa adanya. (*)