Atambua Didorong Jadi Kota Festival Budaya Crossborder
Festival Crossborder yang digelar Kemenpar sejak Juni hingga Desember 2016 di Atambua sukses digelar dan didorong jadi kota festival budaya Indonesia.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Suksesnya beragam Festival Crossborder yang digelar Kemenpar sejak Juni hingga Desember 2016 di Atambua tak ingin disia-siakan Bupati Belu Willybrodus Lay. Pariwisata akan didorong jadi leading sector dalam membangun daerah.
Atambua pun akan didorong sebagai kota festival budaya bagi Indonesia dan Timor Leste.
Ya sejak Juni 2016, Kota Atambua memang sudah bertransformasi menjadi kota festival. Kota yang menjadi salah satu pusat penampungan pengungsi dari Timor Timur saat 1999 itu sudah naik kelas. Artis-artis tampil di sana tak lagi didominasi band-band lokal ataupun bintang kelas dua nasional. Semua sudah artis papan atas Indonesia.
Tengok saja penampilan Slank yang pernah diboyong Kemendes PDT. Setelah itu, ada Marapu, Kikan, Boomerang, dan Jamrud.
Semuanya tampil mempromosikan Festival Crossborder Atambua yang digelar Kementerian Pariwisata. Tiga wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste yakni di Kabupaten Belu (Atambua), Kabupaten Malaka (Betun), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (Kefamenanu-Tanjung Bastian) jadi heboh luar biasa.
“Yang saya rasakan, Festival Crossborder di perbatasan NTT-Timor Leste menaikkan citra daerah. Untuk jangka panjang tentu sangat berpengaruh bagi pariwisata kabupaten yang ada di sekitar perbatasan akan terus berbenah untuk menyiapkan sarana dan prasarana yang lebih baik,” ungkap Bupati Belu, Willybrodus Lay, Senin (12/12/2016).
Willy – sapaan akrab Willybrodus Lay tak asal bicara. Sejak Festival Crossborder digelar, jalan di tiga wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste di Kabupaten Belu (Atambua), Kabupaten Malaka (Betun), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (Kefamenanu-Tanjung Bastian) berubah mulus.
Yang tadinya tanah dan batu, sekarang sudah diaspal mulus seperti jalan-jalan di Pulau Jawa.
Perumahan tipe 46 dengan atap seng berwarna biru juga makin menjamur. Rumah ini memang dibangun khusus untuk masyarakat daerah perbatasan. Itu selaras dengan kenaikan jumlah kamar hotel di Atambua.
“Dulu Hotel Matahari hanya punya 18 kamar. Pelan-pelan sekarang sudah tambah jadi 40 kamar. Hotel lainnya juga begitu. Ke depan, saya akan usahakan masuknya investasi untuk membangun hotel bintang tiga dan bintang empat di Atambua,” ungkap Willy.
Tak hanya rumah dan penginapan yang terkena imbas positif. Usaha rental mobil juga ikut tumbuh. Yang tadinya hanya punya satu mobil untuk disewakan, sekarang bisa mencapai empat hingga lima mobil per pengusaha. Bahkan, sekarang mulai hadir pengusaha travel yang menyediakan layanan bus lintas negara.
Pos Lintas Batasnya? Seperti Bandara Bintang Empat. Kombinasi arsitektur tradisional dan modern di Motaain terlihat padu. Atapnya berbentuk kubah seperti bentuk atap rumah adat NTT, Mbaru Niang.
”Ini sangat memberi rasa bangga, berbeda dengan bentuk sebelumnya,” terang Willy.
Kalau dulu, bangunan Pos Lintas Batas Motaain berbentuk seperti terminal. Satu bangunan saja. Jauh berbeda dengan punya Timor Leste. Tapi sekarang, bangunannya sudah seperti bandara internasional.
Sejumlah bangunan dan pos berupa Gerbang Tasbara dan pos jaga, karantina, pemeriksaan imigrasi, bea cukai, hingga pasar rakyat khusus perbatasan Motaain dan fasilitas pendukung lainnya sudah berstandar dunia.
Pos Lintas Batas Wini di Kabupaten Timor Tengah Utara juga sama. Meski masih tahap pengerjaan, bangunannya juga sudah disulap menyerupai hotel bintang lima. Desainnya sangat elok. Fasilitas di dalamnya pun sangat modern. Sekarang, etalase Indonesia tampak membanggakan untuk bisa dilewati oleh orang-orang Timor Leste dan Indonesia yang melewati area ini.
“Kalau sudah seperti ini, orang-orang di luar Atambua akan tahu tentang wisata di wilayah perbatasan. Jadi impact dari Festival Crossboder sangat besar. Ini mempengaruhi sektor lain untuk ikut mengembangkan wilayah perbatasan,” ucap pria berwajah oriental itu.
Dan yang lebih penting lagi, Festival Crossborder juga memantik angka pertumbuhan kunjungan pelintas batas. Yang tadinya hanya 100-an pelintas batas, saat even berlangsung, jumlahnya melonjak hingga kisaran 700-an pelintas batas. Kenaikannya bisa mencapai 700% bila dibanding hari biasa.
“Dampak langsungnya terhadap masyarakat sekitar Rp 300 juta – Rp 400 juta karena tak hanya wisman Timor Leste saja yang bergerak masuk. Wisatawan Nusantara dari sekitar Atambua juga ikut masuk,” ungkap Willy.
Lantaran punya ‘daya ledak’ yang cukup besar, Willy pun tengah mempertimbangkan untuk membangun panggung permanen di Alun-alun Atambua. Bangunannya akan didesain artistik yang bisa mencerminkan Atambua sebagai Kota Festival.
“Akan kami bahas dulu. Kami rasa promosi wisata melalui panggung seni dan budaya akan lebih tepat sasaran," ucap pria yang punya backround sebagai pengusaha itu.
Menpar Arief Yahya menyebut, crossborder adalah kawasan yang paling cepat bisa mendatangkan wisman. Dan Festival Crossborder di Aruk Sambas, Kalbar, lalu di Atambua NTT, Merauke dan Jayakarta di Papua akan menjadi sangat vital.
“Prancis dan Spanyol adalah Negara dengan corssborder tourism yang paling besar, karena memanfaatkan crossborder itu,” jelas Arief Yahya.