Oleh : Saurlin Siagian, Koordinator International Land Coalition, wilayah Asia
DALAM dua bulan terakhir, terdapat dua peristiwa agraria penting di Indonesia. Pertama penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria tanggal 24 September. Dan kedua, Implementasi Reforma Agraria melalui redistribusi tanah eks hak guna usaha (HGU) di Sulawesi Utara, 29 Oktober 2018.
Saat pembukaan Global Land Forum berlangsung di Gedung Merdeka Bandung tanggal 24 September 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres 86 tentang Reforma Agraria (Perpres RA) yang diapresiasi positif oleh ribuan peserta forum dari 84 negara.
Peraturan Presiden terkait reforma agraria itu adalah tonggak sejarah yang sudah dinanti para pegiat dan pendukung reforma agraria di Indonesia, sebuah peraturan organik penting setelah lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Baca: Persib: 5 Pertandingan Tidak Menang, Gomez Targetkan 18 Poin, Banding Bojan dan Ezechiel Ditolak
Baca: Mantan Pilot Senior Ungkap Situasi Kokpit yang Semrawut Saat Lion Air JT610 Jatuh, Ini Analisanya
Baca: Alami Kecelakaan Pesawat 2 Kali dan Wajahnya Hancur, Mantan Pramugari Sempat Kecewa dengan Lion Air
Baca: Kesaksian Penumpang Lion Air JT610 Denpasar-Jakarta, Cium Bau Gosong Lalu Lampu Seat Belt tak Padam
Setelah itu, Menteri Agraria/BPN untuk pertama kalinya dalam 4 tahun terakhir menyerahkan sertifikat redistribusi tanah eks HGU kepada 315 kepala keluarga di Desa Mangkit, Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara.
Sebanyak 515 bidang sertifikat tanah seluas 444 hektar didistribusikan. Pengakuan atas lahan masyarakat Mangkit itu sudah diperjuangkan warga bertahun-tahun, dengan dukungan masyarakat sipil, pemerintah daerah, kantor staf presiden dan pemerintah pusat.
Redistribusi itu, sekali lagi, merupakan redistribusi pertama lahan eks HGU perkebunan. Namun, pemerintah mengklaim telah mengimplementasikan reforma agraria dalam 4 tahun terakhir dengan capaian 13,8 juta bidang tanah, yang biasa dikenal sebagai skema legalisasi (Tribunnews, 20/10/2018).
Misi utama dari reforma agraria adalah mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah yang sudah berlangsung sejak zaman kolonial, dan menyelesaikan konflik agraria akut yang terjadi puluhan tahun di seantero nusantara. Komponen utama reforma agraria ini direspons Perpres dengan relatif baik.
Baca: Ketua umum DPN Pemuda Tani HKTI Apresiasi Pemerintahan Jokowi yang Telah Memulai Reforma Agraria
Objek reforma agraria disebutkan berasal dari Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangun (HGB) yang telah habis masa berlakunya, alokasi 20% dari HGB di atas HGU, termasuk alokasi 20% dari HGU aktif.
Berikutnya, tanah kawasan hutan yang dilepaskan, tanah terlantar, tanah penyelesaian konflik, tanah bekas tambang diluar kawasan hutan, tanah timbul, tanah yang memenuhi syarat pemenuhan hak, tanah bekas hak era kolonial, dan tanah kelebihan maksimum.
HGU aktif– yang selama ini menjadi sumber utama ketimpangan kepemilikan tanah – tidak secara tegas dimasukkan kedalam objek RA.
Namun, melalui defenisi di atas, bagian HGU aktif yang terlibat konflik – dan kemudian menjadi tanah penyelesaian konflik – dapat diartikan dan dikategorikan sebagai objek reforma agraria.
Kenyataannya, tanah berkonflik berada di mana saja termasuk HGU aktif. Untuk penyelesaian konflik, Perpres mengamanatkan masih perlunya Peraturan Menteri yang mana dianggap menjadi sumber masalah tersendiri.
Subjek penerima reforma agraria disebutkan sebanyak 20 unsur, di antaranya petani gurem, petani penggarap, buruh tani, nelayan kecil dengan berbagai jenisnya, guru honorer, pekerja harian lepas, dan seterusnya.
Pada urutan ke-19, disebutkan TNI dan polri termasuk subjek RA dengan syarat pangkat paling tinggi letnan dua atau inspektur dua yang tidak memiliki tanah.
Dengan pembatasan yang ketat ini, dan menempatkannya dalam urutan ke-19, bisa dipahami bahwa TNI dan Polri bukan skala prioritas dalam konteks implementasi.
Sebaiknya dalam peraturan teknis diatur bahwa peruntukan tanah untuk TNI/Polri dengan pangkat tersebut hanya untuk wilayah perkotaan dengan peruntukan perumahan, bukan lokasi pedesaan dengan peruntukan produksi.
Keterlibatan Masyarakat
RA secara administratif diselenggarakan oleh sebuah badan yang disebut Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di bawah Kemenko Ekonomi. Dilevel propinsi dibentuk GTRA provinsi yang diketuai oleh Gubernur, dengan pelaksana kepala BPN setempat, demikian juga di level kabupaten dan kota.
Para penggiat agraria menengarai bagian ini sebagai salah satu titik krusial dari Perpres RA. Bagaimana tidak, perpres harus diimplementasikan aparat struktural yang justrul selama ini dianggap tidak punya gagasan dan agenda reforma agraria, khususnya di level pemerintah daerah.
Baca: Kawasan Hutan Gunung Guntur Garut Terbakar Lagi, Aktivitas Pendakian Ditutup
Elit daerah masih harus sibuk mengurus dirinya sendiri. Reformasi birokrasi daerah masih buruk, inefisien, tidak transparan, bertele-tele dalam mengurus rakyat dan masih jauh dari mentalitas melayani (Rilis Menpan 19/5/2016).
Implikasinya, banyak kepala daerah harus berurusan dengan penegak hukum karena urusan korupsi khususnya perijinan sumberdaya alam di daerahnya masing masing. Kemendagri mencatat sebanyak 434 orang kepala daerah terjerat korupsi sejak 2004 hingga 2018, di mana perizinan terbukti sebagai salah satu diantara tujuh sumber-sumber utama korupsi (Kompas,27/10/2018)
Sementara itu organisasi pendukung RA dan organisasi organisasi petani di Indonesia tidak dilibatkan secara nyata dalam posisi penting GTRA, baik di level nasional maupun daerah. Perpres hanya mengamanatkan bahwa GTRA dalam pelaksanaannya dapat melibatkan partisipasi masyarakat.
Dalam implementasinya, diharapkan pemerintah Indonesia tidak menggunakan utang dalam implementasinya.
Bulan Juni 2018, publik dikejutkan dengan berita penandatanganan kontrak utang untuk reforma agraria antara World Bank dengan Menteri Agraria dan Tataruang.
Berbagai organisasi pendukung RA menyampaikan protes keras, seperti Konsorsium Pembaruan Agraria. Belum jelas akhir dari kisruh ini, namun pihak ATR menyampaikan telah meninjau ulang perjanjian itu.
Poin tolak utang untuk reforma agraria menjadi salah satu poin bersejarah dalam isi deklarasi Bandung pada Global Land Forum, September 2018 yang lalu. “Deklarasi Bandung” akhirnya memuat satu kalimat penting terkait tidak bolehnya menggunakan utang dalam mengimplementasikan reforma agraria, karena reforma agraria menyangkut kedaulatan suatu negara.
Memelihara Momentum
Lahirnya Perpres RA 86 adalah bagian penting dari narasi kembalinya agenda reforma agraria dalam perjalanan perjuangan agraria, termasuk kebijakan, dan kelembagaannya setelah terlupakan dan dipaksa dilupakan oleh rejim anti rakyat Orde Baru. Momentum ini perlu dimanfaatkan para pendorong reforma agraria dan organisasi petani di Indonesia.
Ditengah keterbatasan keterlibatan masyarakat dan kesulitan struktural yang termaktub didalam Perpres, desa Mangkit telah menunjukkan perbedaan, Reforma Agraria adalah agenda nyata yang bisa terjadi.
Di tengah reformasi pemerintah daerah yang lambat, masih ada praktik baik gubernur dan bupati yang bisa didorong menjadi contoh kepada bupati dan gubernur lainnya. Mangkit perlu ditampilkan sebagai pembelajaran awal reforma agraria.
Kesulitan implementasi sistematis dan meluas dapat di atas dengan cara melakukan akselerasi dibeberapa daerah tertentu untuk dijadikan contoh implementasi reforma agraria yang bisa ditiru oleh daerah daerah lainnya secara simultan. Toh, daerah yang tidak melakukan agenda ini dengan sendirinya akan ditinggalkan konstituennya.
Secara khusus perlu ditekankan peran Kantor Staf Presiden sebagai pengawal agenda strategis pemerintah menjadi inisiator yang memfasilitasi para pihak utama yang disebutkan dalam Perpres untuk mengimplementasikan Reforma Agraria di daerah daerah. Gubernur, Bupati, Walikota dan BPN di masing masing level harus dipastikan memahami dan melaksanakan perintah Perpres.
Pada akhirnya perpres adalah teks dengan segala kekurangannya. Teks adalah benda mati yang tidak akan mengubah apapun. Penguasaan dilapangan agraria menjadi penentu. Gerakan petani dan para pendukungnya-lah yang bisa meniupkan nafas terhadapnya, membangun tafsir sendiri di setiap lapangan terhadap teks itu untuk dibuktikan membuatnya menjadi berarti.