TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kwik Kian Gie (KKG), mendukung kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000-6.500 per liter.
Alasannya, kenaikan harga BBM memungkinkan Indonesia memiliki surplus lebih tinggi untuk membiayai pembangunan.
"Harga BBM saat ini terlalu murah. Masa BBM lebih murah dari harga satu botol Aqua satu liter atau satu botol bir? Naiknya harga BBM memungkinkan Indonesia memiliki surplus lebih tinggi untuk membiayai pembangunan," kata Kwik dalam acara diskusi publik di Cimanggis, Depok, Minggu (23/6/2013).
Menurut Kwik, harga BBM memang harus dinaikkan ke level yang wajar, yakni di kisaran Rp 6.000-Rp 6.500 per liter.
Berdasarkan pasal 33 UUD 1945, ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan untuk menaikkan harga BBM. Pertama, kepantasan atau kepatutan. Kedua, daya beli masyarakat. Ketiga, nilai strategis.
Dari sisi kepantasan, papar Kwik, harga BBM yang lebih murah dibandingkan dengan harga sebotol air minum termasuk tidak pantas. Kedua, dari segi daya beli masyarakat, harga Rp 6.000-6.500 per liter masih tergolong wajar.
"Saya yakin harga itu masih bisa dijangkau. Jika dilihat dari faktor strategis, BBM merupakan barang sangat strategis yang dibutuhkan dan digunakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Karena itu, harganya tidak bisa dipatok sesuai harga internasional, yakni Rp 9.000-10.000 per liter," tuturnya.
Hal lain yang sangat mendasar, lanjut Kwik, dengan menaikkan harga BBM, maka Indonesia diharapkan memiliki surplus lebih tinggi lagi untuk membiayai pembangunan lain.
Karena itu, Kwik menyesalkan pemerintah yang ia nilai lamban dan mengulur-ulur waktu menaikkan harga BBM.
"Dengan mengulur-ukur waktu menaikkan BBM, justru menambah persoalan psikologis masyarakat. Harga kebutuhan pokok naik sebelum harga BBM naik," bebernya.
Kwik menjelaskan, rencana kenaikan harga BBM sebenarnya sudah diusulkan pemerintah sejak awal 2012, tapi ditolak DPR pada 30 Maret 2012.
Pemerintah ragu memutuskan kenaikan harga BBM, sekalipun wewenang itu berada di tangan presiden, sebagaimana diatur dalam UU APBN 2013.
Presiden tak mau menaikkan harga BBM tanpa mendapatkan dukungan Program Percepatan dan Perlindungan Sosial, sebagai langkah melindungi masyarakat dari dampak kenaikan harga BBM bersubsidi, yang akhirnya disetujui DPR dalam APBN-P 2013 melalui Rapat Paripurna DPR. (*)