TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Menurut data Bloomberg, Senin (19/8/2013), nilai tukar rupiah anjlok ke posisi Rp10.569 per dollar AS Tampak nilai rupiah semakin menurun dari awal tahun yang mencapai Rp 9.700. Sementara kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat rupiah ada di Rp 10.451.
Menanggapi hal ini, Reza Priyambada Kepala Riset Trust Securities, melihat tekanan atas rupiah datang melalui ancaman pemberhentian stimulus The Fed dan melemahnya fundamental perekonomian indonesia.
Tekanan datang dari rilis klaim pengangguran AS pada Juli yang lebih baik dari estimasi dan stabilnya angka inflasi AS. Membaiknya perekonomian AS semakin menguatkan investasi kepada safe heaven atau mata uang dollar AS. Belum lagi dengan defisit neraca perdagangan yang terus melebar.
"Selain faktor diatas anjloknya rupiah seiring dengan Tren penurunan yang terjadi pada cadangan devisa 92,7 miliar dollar AS pada Juli 2013 serta eskpektasi melebarnya defisit neraca berjalan RI 9 miliar dollar AS membuat pelaku pasar lebih memilih melepas mata uang Rupiah," tuturnya di Jakarta, Senin (19/8/2013)
Belum lagi yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang melonjak membuat Rupiah kian terpuruk. Naiknya yield obligasi membuat investasi di sektor mata uang tidak menjadi menarik dan mengakibatkan merosotnya nilai mata uang tukar rupiah.
Menaiknya obligasi rupiah disebabkan oleh naiknya yield obligasi Mesir seiring dengan makin peliknya krisis geopolitik di negara tersebut membuat ekspektasi yield negara-negara berkembang lainnya akan meningkat.
"Sehingga faktor geopolitik memngaruhi pergerakan dan kami perkirakan setekah berada di 10.380 per dollar AS target next support akan berada dikisaran 10.520 - 10.495 per dollar AS, selama makronya memburuk maka rupiah juga akan memburuk," katanya.