News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penerimaan Cukai Rokok Bisa Tambah Rp 400 Miliar Tahun Ini

Penulis: Nurfahmi Budi
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

pabrik rokok HM Sampoerna, memproduksi Dji Sam Soe

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masih berharap bisa mendapatkan tambahan penerimaan dari cukai rokok hingga Rp 400 miliar tahun ini.

Tambahan tersebut bisa diraih jika revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 78/PMK.011/2013 tentang tarif cukai perusahaan rokok terafiliasi, selesai tahun ini dan segera diterapkan.

Susiwijono Moegiarso, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai, mengatakan revisi PMK 78 sedang difinalisasi di Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Kalau revisi PMK ini diterapkan, berpotensi untuk meningkatkan penerimaan cukai, karena ada beberapa perusahaan yang terindikasi terafiliasi, akan 'naik kelas' ke golongan di atasnya (dengan tarif cukai lebih tinggi).
"Namun karena untuk tahun ini tersisa 3,5 bulan, perhitungan saya kenaikannya sekitar Rp 300-400 miliar," katanya, Kamis (12/9/2013).

Seperti diketahui, sejatinya PMK baru yang mengatur tentang Penetapan Golongan Dan Tarif Cukai Hasil Tembakau Terhadap Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau Yang Memiliki Hubungan Keterkaitan, sudah disahkan pada 11 April 2013 lalu dan mulai berlaku pada 12 Juni 2013.

Namun, karena banyaknya tekanan dan protes, beleid baru tersebut tak kunjung diimplementasikan. Pemerintah bahkan akhirnya 'mengalah' dengan melakukan revisi sebagian dari isi PMK tersebut.

"Akan ada revisi untuk PMK itu, dan tahun ini ditargetkan selesai. Jadi sampai sekarang kami belum bisa meng-collect tarif baru di PMK 78 tahun 2013," kata Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro.

Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Qosasi menjelaskan, sejauh ini Komisi XI memang sudah meminta kepada Menteri Keuangan untuk mempertimbangkan kembali pemberlakukan PMK 78. Alasannya karena PMK tersebut tidak berpihak pada industri rokok kecil.

Selain itu, lanjutnya, sesuai masukan yang masuk ke Komisi XI, PMK tesebut diterbitkan tanpa melibatkan perusahaan rokok berskala kecil yang mayoritas memproduksi jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan melibatkan banyak tenaga kerja.

Dengan tertundanya aturan itu, pemerintah pun terancam kehilangan potensi pendapatan tambahan dari aturan baru yang sudah di masukan dalam APBNP 2013 ini hingga triliunan Rupiah. Namun, pemerintah mengelak jika revisi yang terjadi karena banyaknya tekanan.

"Begitu PMK Perubahan dari PMK-78 diterbitkan, BC akan langsung bisa menerapkan di lapangan. Dengan aturan baru, diharapkan ada tambahan penerimaan. Tidak ada tekanan dalam pelaksanaannya, hanya saja di waktu yang lalu ada beberapa masukan dari sejumlah asosiasi yang harus diakomodasi untuk merevisi PMK," tuturnya.

Jika aturan revisi ini bisa dijalankan tahun ini, ia optimistis penerimaan cukai rokok tahun depan bisa tumbuh 10 persen di banding tahun ini. Tahun ini, pendapatan cukai ditargetkan bisa mencapai Rp104,7 triliun atau lebih tinggi 10,2 persen dari realisasi tahun 2012 lalu yang sebesar Rp 90,6 triliun.

Proyeksi peningkatan tersebut lebih dikarenakan kenaikan volume produksi cukai hasil tembakau, serta adanya kebijakan penetapan golongan dan tarif cukai hasil tembakau terhadap pengusaha pabrik hasil tembakau yang memiliki hubungan keterkaitan sebagaimana yang diatur dalam PMK No.78/PMK.011/2013. Pada tahun 2013 ini produksi rokok diperkirakan melebihi 340 miliar batang SKM, SPM, dan SKT.

Terkait dengan isi revisi PMK, Susiwijono menjelaskan, poin penting yang dirubah adalah terkait aspek hubungan keluarga, yang dihilangkan dari aspek- aspek yang menentukan 'Hubungan Keterkaitan'.
Dengan begitu, hanya tinggal 3 aspek yang masih disebutkan untuk menentukan hubungan keterkaitan yakni aspek permodalan, aspek bahan baku dan manajemen perusahaan. Adapun soal besaran tarif dipastikannya tetap sama seperti yang ada dalam PMK sebelum revisi.

Sebagai informasi, potensi kenaikan cukai rokok karena hubungan keluarga ini tercantum dalam pasar 2 huruf d pada PMK No. 78/2013. Adapun hubungan keluarga yang dimaksud adalah hubungan sedarah dan hubungan kekerabatan dua derajat.

Selain mengatur hubungan keluarga, PMK ini juga mengatur pembatasan hubungan keterkaitan lain, yakni permodalan, manajemen, penggunaan tembakau iris yang diperoleh dari pengusaha pabrik lain yang punya penyertaan modal minimal 10 persen.

Sebelum PMK ini terbit, Ditjen Bea Cukai mengklaim sudah tegas menerapkan PMK Nomor 191/PMK.04/2010 mengenai Hubungan Istimewa Perusahaan Rokok mulai tanggal 23 November 2012.
Aturan ini terbit lantaran produsen rokok kerap mengakali pengenaan besaran cukai dengan memecah perusahaannya menjadi perusahaan-perusahaan kecil .

Misalnya satu perusahaan tidak boleh (produksi) lebih dari 100 ribu batang atau harus membayar cukai lebih besar karena gologannya naik. Tapi agar bisa produksi lebih dengan cukai yang murah, akhirnya suatu perusahaan membuat perusahaan A, B atau C seterusnya.

"Dengan PMK baru ini intinya layering/ grading penggolongan Pabrik Rokok untuk dasar penetapan tarif cukai rokok, benar-benar akan diterapkan sesuai total volume produksi dari tiap Perusahaan, termasuk anak perusahaan atau yang terafiliasi," kata Susiwijono.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini