TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Penempatan promosi di media elektronik seperti televisi dan radio secara berulang dan simultan, memang berpotensi memengaruhi publik untuk membuat sebuah keputusan. Terlebih promosi produk properti.
Dengan visualisasi rinci, publik diajak untuk menyelami kelebihan, kenyamanan dan gaya hidup yang dapat dinikmati di dalam properti tersebut. Hal tersebut tidak saja memengaruhi dalam pengambilan keputusan, melainkan juga hingga dalam tataran eksekusi; membeli.
Akan tetapi, media placement saja tidak cukup. Ternyata ada beberapa faktor penting lainnya yang berkontribusi besar terhadap kesuksesan penjualan produk properti.
Direktur Marketing Agung Podomoro Group, Indra W Antono, berbagi rahasia di balik kesuksesan mereka mampu meraup penjualan senilai Rp 3,5 triliun hanya dalam kurun sembilan bulan.
Menurut Indra, hal pertama yang harus diperhatikan adalah masalah lingkungan (environment) di mana lokasi proyek properti akan dibangun. Apakah lingkungan sekitar merupakan pusat bisnis, pendidikan, atau pemerintahan.
"Menguasai karakter lingkungan sangat penting, karena akan memengaruhi strategi pemasaran berikutnya," ujar Indra kepada Kompas.com, Sabtu (2/11/2013).
Faktor kedua yang tak kalah pentingnya adalah perhatian penuh pada demografi kawasan. Banyaknya jumlah populasi menjadi tidak berarti bila kemudian ceruk pasar yang dibidik justru tidak besar (gemuk) dan terbatas.
"Kami bermain di level menengah atas. Penduduk padat saja tidak cukup. Ceruk pasarnya harus ada dan berapa jumlahnya. Setelah itu, bagaimana pendapatan per kapitanya dan kemampuan membelinya (daya beli)," jelas Indra.
Sementara faktor ketiga adalah peka atau sensitif dalam menentukan harga (pricing). Agung Podomoro akan menetapkan harga jual yang disesuaikan dengan lokasi, dan kemampuan daya membeli. Pendek kata, harga yang dipatok dapat diserap pasar di kawasan tersebut (affordable).
"Jangan pernah mematok harga yang terlalu tinggi atau rendah. Hanya ada dua kemungkinan yang ditimbulkan; gagal atau sukses menjual. Kami pernah mengalami kegagalan karena menetapkan harga terlalu rendah akibat salah dalam membaca demografi dan lingkungan," buka Indra.
Kegagalan tersebut terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur. Agung Podomoro, kisah Indra, membanderol harga sekitar Rp 450 juta hingga Rp 600 juta untuk unit-unit rumah di proyek Bukit Mediterania Samarinda. Patokan harga tersebut tidak terserap pasar.
Selidik punya selidik, ternyata karakter warga Samarinda itu cenderung akan membeli properti bila harganya merepresentasikan gengsi dan reputasi. "Sejak kegagalan itu kami melakukan repricing dan menjual rumah dengan harga Rp 1 miliar per unit. Tentu dengan sejumlah revisi desain dan luas bangunan plus lahan," imbuh Indra.
Faktor keempat adalah diferensiasi desain. Adalah penting memerhatikan kebutuhan calon pembeli atas rumah yang bakal mereka tempati. Pengembang harus merancang rumah sesuai dengan kebiasaan dan gaya hidup calon pembeli.
"Unik dan menarik itu bonus. Yang terpenting selaras dan sesuai dengan kebutuhan pembeli. Ini yang dinamakan desain efektif dan efisien," ujarnya.
Terakhir, penentuan lokasi dan juga kekuatan brand dari pengembang yang bersangkutan. Indra menekankan kedua hal ini juga sangat penting. Rekam jejak pengembang sangat menentukan produk tersebut diterima pasar atau tidak. "Jadi, masalah pasar tidak semata soal selera atau daya beli. Juga reputasi dan rekam jejak," tandasnya.
Kesimpulannya, menjual properti bukanlah pekerjaan yang gampang. Untuk sampai kepada lima langkah strategis tadi, menurut Indra, pihaknya melakukan studi kelayakan secara menyeluruh terhadap aspek teknis, ekonomi, keuangan, lingkungan dan kelembagaan dengan beberapa justifikasi sehingga proyek yang diusulkan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan. (Hilda B.Alexander/Kompas.com)