News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengamat: Penerimaan Negara Anjlok Jika FCTC Diratifikasi

Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

irektur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian, Enny Ratnaningtyas berfoto bersama Guru Besar Hukum International UI Hikmanto Juwana, Ekonom IPB Iman Sugema, Wapimred LKBN Antara Erafzon Saptiyuda, Ketua FORWIN M Ridwan, dan Direktur Tanaman Semusim Kementan Nurnowo Paridjo usai seminar Dampak Aksesi FCTC Bagi Industri Hasil Tembakau di Jakarta, Selasa, 24 Desember 2014.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dipastikan bakal berdampak negatif bagi penerimaan negara.

Iman Sugema, Direktur International Center for Applied Finance and Economics (Intercafe) Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan selama ini penerimaan negara dari cukai rokok terus bertambah tiap tahun. Jika Indonesia ikut-ikutan meratifikasi FCTC seperti negara lain, maka hal itu akan menekan penerimaan negara yang berasal dari cukai.

Seperti diketahui, pada 2012 realisasi penerimaan cukai rokok sebesar Rp 80 triliun. Angka ini meningkat diperkirakan menjadi Rp 95 triliun pada 2013 dan pada 2014 diproyeksikan mencapai Rp 114 triliun.

Menurut Iman, cukai rokok rata-rata tumbuh 17 persen per tahun dan selalu 5 persen–6 persen di atas target tahunan. Hal tersebut berbeda dengan penerimaan pajak lainnya yang rata-rata hanya 92 persen dari target tahunan. Artinya, walau hanya 9,7 persen dari total penerimaan negara, tapi berfungsi sebagai pengaman dari penerimaan negara. Pengaman ini jarang sekali didapat dari industri lainnya.
 
"Pertanyaannya adalah, apakah Menkes bisa menggantikan pemasukan negara yang diperoleh dari cukai rokok jika FCTC tetap diteken pemerintah?" ujarnya dalam seminar bertajuk "Dampak Aksesi FCTC bagi Industri Hasil Tembakau" di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (24/12/2013).

Iman mencontohkan, pada waktu tertentu seperti krisis 1998, banyak orang stres yang merokok sehigga penerimaan cukai naik, tapi pajak justru anjlok. 

Menurut Iman, cukai tidak hanya penting bagi para pelaku industri dan petani. Bahkan negara pun jalan tidaknya tergantung cukai.
Kalau Indonesia ikut teken FCTC maka harus dipikirkan cara mengganti pemasukan negara yang berasal dari cukai rokok. Jika tidak ada solusi, maka sekolah tidak bisa lagi dibuat gratis, program jaminan kesehatan tidak bisa lagi dibiayai. Sehingga perlu pemikiran yang matang tidak hanya mengedepankan ego sektoral.

Iman sendiri paham Menkes peduli soal kesehatan, tapi di sisi lain Menkes juga harus tahu bahwa sekitar 10 persen dana negara ini termasuk untuk kesehatan itu dipakai untuk anggaran kesehatan.

"Target cukai rokok pada 2014 sebesar Rp 114 triliun, itu susah mencari gantinya. Saran saya kalau mau mengurangi rokok di masyarakat, intervensinya jangan terlalu jauh ke tingkat petani, cukup dari instrumen ekonomi seperti meningkatkan cukai. Artinya ada solisi lain yang bisa digunakan untuk mengontrol perokok," katanya.

Menurut Iman, tembakau tidak hanya berguna untuk rokok, karena sekarang yang sedang berkembang adalah good agriculture practices yang komponen pestisida salah satunya tembakau. Di fase mendatang penggunaan tembakau makin luas termasuk pengendalian hama. "Jadi tidak bijak kita ikut fctc yang membatasi produksi tembakau."

Semakin ke depan, penggunaan pestisida akan semakin berkurang dan petani akan semakin sadar pertanian organik jauh lebih ramah lingkungan dan nilai tambah yang lebih besar. "Jadi tidak nyambung kalau ingin membatasi rokok tapi malah membatasi produksi petani, jadi apa skenario dibaliknya."

Iman memberi solusi, yaitu pembatasan rokok bisa melalui tax forcing, sehingga kenaikan permintaan (demand) bisa diminimalisir. Rasio populasi perokok turun tapi secara total jumlah perokok tetap naik karena jumlah penduduk juga naik. 

"Kita punya masalah besar dalam desain tata hukum di negara kita. Jadi semua yang beraroma internasional jadi mengerdilkan aturan-aturan yang bersifat nasional. Buat saya itu ada satu hal yang sangat menarik untuk dikaji, apakah tidak semestinya menngembalikan filosofi dasar bahwa negara ini berdaulat?" tegasnya.

Enny Ratnaningtyas, Direktur Makanan dan Tembakau Kementerian Perindustrian, mengatakan jika alasan ratifikasi FCTC hanya soal kesehatan, sebenarnya Indonesia sudah terlebih dahulu memiliki aturan serupa yaitu melalui PP No 109 tahun 2012. Bahkan, sejak diluncurkan setahun yang lalu, aturan tersebut belum pernah diimplementasikan.

Enny menuturkan, bagaimana mungkin aturan sendiri yang sudah dibuat tidak diimplementasikan, tapi justru sudah mau memakai aturan internasional.
 
"Aturan dalam FCTC juga dikhawatirkan makin ketat dan dinamis dan rawan paksaan inisiator untuk mengikuti kepentingan mereka (asing)," kata Enny.

Menurut Enny, pada dasarnya Kemenperin mendukung perlindungan kesehatan masyarakat dalam upaya untuk mengatasi dampak negatif rokok. Namun, dikhawatirkan FCTC akan menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan terkait industri rokok, meski dalam pasal-pasal FCTC disebutkan tetap mengutamakan hukum nasional dan kondisi masing-masing negara.

"Meski guideline secara hukum tidak wajib dipenuhi anggota, negara maju anggota FCTC bakal mendorong semua anggota untuk mematuhinya. Dalam perjalanannya, negara-negara maju anggota FCTC sering melakukan review terhadap guideline FCTC dengan menambahkan aturan-aturan baru yang ketat dan seluruh anggota wajib mematuhinya,” kata Enny.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini