TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang hingga masih terkendala pembebasan lahan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menyebut realisasi proyek senilai Rp 40 triliun tersebut dipastikan molor dari target awal di 2017.
"Kira-kira akan bergeser ke 2018," ujarnya usai rapat koordinasi di Kemenko, Jakarta, Jumat (25/4).
Dari kebutuhan lahan sebesar lebih kurang 200 hektare, masih tersisa lahan seluas 29 hektare yang belum dibebaskan.
Namun, Hatta tetap optimistis bisa mencapai financial closing pada Oktober 2014. Menko mengaku terus meminta pengembang menuntaskan proyek mengingat ini adalah Kerja Sama Publik-Swasta dengan investasi yang besar.
Pembangkit listrik berkapasitas 2 x 1000 megawatt tersebut digadang sebagai pembangkit terbesar se-Asia Tenggara yang akan dibangun dengan teknologi super critical.
Jika proyek gagal, maka pasokan listrik Jawa di 2017-2018 tidak akan terpenuhi.
Direktur Perusahaan Listrik Negara (PLN) Nur Pamudji mengatakan krisis listrik akan terjadi karena pasokan tak mampu mengimbangi kebutuhan yang semakin meningkat.
Untuk itu, PLN kini tengah mengambil langkah untuk memitigasi risiko tersebut dengan cara menambah pembangkit listrik.
"Kalau proyek Batang tertunda, bisa menimbulkan krisis listrik. Penyediaan pasokan masa depan harus diupayakan tepat waktu," pungkasnya.
Selain terkendala pembebasan lahan, rencana pembangunan PLTU Batang juga ditentang warga karena bahan bakar batu bara yang dipakai PLTU dianggap berpotensi mencemarkan lingkungan.
Meski demikian, Menteri Keuangan Chatib Basri menekankan proyek tersebut harus tetap berjalan mengingat pentingnya peran pembangkit dalam memasok listrik.
Perkiraan Menkeu, pembangunan bisa dikebut agar tepat waktu. "Kita usahakan, selesai 2017 nanti," ujarnya.