Tribunnews.com, Jakarta - Anggota komisi VII dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewi Aryani menilai baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) memiliki dua opsi terkait persoalan bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
Masing-masing opsi, menurut Politisi PDI-Perjuangan ini, memberikan dampak yang sama beratnya. Namun pilihan tetap harus ditentukan dan risiko harus ditanggung.
"Pilihan yang ada dan secara teknis adalah yang terbaik adalah dengan menaikkan harga," demikian dia katakan kepada Tribunnews.com, Jakarta, Kamis (4/9/2014).
Hitung-hitungannya sederhana, kata dia. Lanjut dia, APBN defisit akibat salah tata kelola energi selama 10 tahun terakhir dan berkepanjangan hingga kini, volume BBM bersubsidi saat ini 46 miliar liter kalau dinaikan Rp1000 negara akan memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp 46 triliun. "Itu kalau setahun penuh," jelasnya.
Tapi dengan sisa waktu tinggal 4 bulan, maka tambahan penerimaan negara 'hanya' sekitar Rp 15 triliun. Tidak terlalu besar. Dan seharusnya untuk menutup defisit masih bisa diupayakan dari penghematan disana-sini.
"Kalau dinaikan Rp 2.000, maka tambahan penerimaan negara sekitar Rp 30T. Masih tidak terlalu besar juga untuk menambal defisit. Kalau kuota ditambah, defisit akan bertambah. Sementara makin tinggi kenaikan harga, resiko politiknya makin tinggi. Tapi dari segi fiskal jelas akan lebih baik," paparnya.
Kapan timing yang tepat untuk menentukan opsi naik? Menurut Dewi, bulan september--masa pemerintahan SBY dan april pada masa pemerintahan Jokowi. Mengapa?
"kedua bulan itu menurut pakar ekonomi adalah bulan-bulan dimana inflasi cenderung rendah sehingga menekan dampak inflasi akibat opsi kenaikan," tuturnya lebih lanjut.
Namun, dia sadari, bahwa Persoalan saat ini adalah psikologi masyarakat yang cenderung "rush" serta munculnya "pebisnis" BBM yang mengambil untung dari disparitas harga.
" Secara keseluruhan menurut saya BBM perlu dinaikan. Tetapi gain yang didapat dari kenaikan BBM jangan dipakai buat BLSM, tapi dipakai buat pendidikan dan kesehatan gratis sambil secara bertahap simultan untuk perbaikan infrastruktur transportasi. Karena 40% penikmat BBM adalah sepeda motor, 50% nya mobil pribadi, dan hanya sekitar 3-4% dikonsumsi oleh angkutan umum)," ungkapnya.
Berapa naiknya? Lebih lanjut dia menjelaskan kalau naik kisaran RP 3000 inflasi akan mengarah ke 8 persen. kemudian Impor BBM akan berkurang sedikit, dan konsumsi durable goods akan berkurang lebih banyak.
"Akan bagus untuk mengurangi impor dan tekanan terhadap rupiah. Yang penting disosialisasikan ke masyarakat perkotaan, agar ada pengertian bahwa negara dalam kondisi kritis," tuturnya.
"Kebijakan yang bersifat shock itu tidak baik. Idealnya menurut saya dilakukan seperti yang sudah-sudah, yaitu Rp2.000 tapi bertahap, pertengahan tahun depan bisa saja sekitar Rp1.000 atau Rp 2.000 lagi," lanjutnya.
Apalagi bila melihat Volume impor BBM yang diperkiraan sepanjang 2014 (minyak olahan) akan berada si sekitar 700-800 ribu barel /hari dengan harga sekitar 15-20% diatas harga pasar crude oil. Jika saat ini harga crude oil berkisar $105 bph, maka harga BBM impor sekitar $120 bph. Hitungan tersebut dengan angka pertumbuhan konsumsi sekitar 8% pertahun, baik untuk BBM bersubdidi maupun non subsidi.
Biaya pengolahan minyak mentah menjadi BBM sekitar $15-20 per barel. Dgn catatan satu barel sama dengan 159 liter. Per liter harga BBM premium (oktan 88) seharusnya sekitar RP. 9300, yg skrg dijual sekitar RP.6500, pemerintah menggelontorkan subsidi sebesar RP2800 (dengan asumsi harga crude saat ini $105 per barel. Untuk harga pertamax (oktan 92) seharga Rp11.350, dan solar dipasaran seharga Rp 5.500.