TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum GP Ansor Nusron Wahid berpendapat, pemerintah seharusnya tidak ragu-ragu dalam mengambil kebijakan realokasi subsidi BM ke sektor lain.
"Kalau subsidinya kebanyakan itu membuat orang berlebih-lebihan konsumsi BBM dan mubazir. Itu sifatnya haram," kata Nusron dalam diskusi "Kenaikan BBM: Dilema double defisit dan Inflasi" di Kantor GP Ansor, Jakarta, Jumat (19/9/2014).
Menurut Nusron pihaknya sedang mengkaji manfaat dan madharatnya kenaikan BBM. Kalau banyak produksi, kata dia, terus dinaikkan namanya madharat. Itu bisa Haram. Tapi akan menjadi halal dan wajib hukumnya untuk dinaikkan kalau saat ini kekurangan produksi, dan defisit transaksi, perdagangan dan APBN.
"Inilah kondisi kita saat ini. Sepahit apapun harus diambil keputusan (naik) BBM, dan harus dihadapi dan dijelaskan apa adanya kepada masyarakat," ujarnya.
Guna mengantisipasi dampak atas kenaikan BBM, lanjut dia, pemerintah harus menyiapkan instrumen perlindungan sosial dan berbagai program proteksi dan kompensasi, yang bersifat produktif dan massal.
"Administrasi atas kompensasi juga harus disiapkan dengan baik. Jangan sampai ada yang dirugikan. Menejemennya juga harus rapi," ungkapnya.
Dalam diskusi tersebut hadir juga sebagai pembicara di antaranya Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara dan Pengusaha dan CEO Bosowa Group Erwin Aksa, serta Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Denni Puspa Purbasari.
Sementara itu, Deputi Senior Gubernur BI Mirza Adityaswara menilai, skema pemberian subsidi tetap (fixed) untuk BBM bersubsidi merupakan cara yang tepat untuk menahan lonjakan inflasi.
Skema ini menetapkan harga jual BBM subsidi dijual sesuai dengan harga di perdagangan internasional, namun nilai subsidi perliternya tak berubah.
Ia mengakui lonjakan inflasi menjadi faktor yang dikhawatirkan, dalam rencana kenaikan harga BBM bersubsidi . kenaikan harga pangan pasaca kenaikan harga BBM, misalnya, sudah terjadi berkali-kali di Indonesia.
“Jadi bagaimana agar inflasi tidak naik terus? Caranya dengan subsidi yang tetap," ujarnya.
Mirza menjelaskan, jika harga BBM nyatanya sebesar Rp 11.500, dengan subsidi tetap Rp 2.500 maka harga jual menjadi Rp 9.000. Namun jika harga minyak dunia naik dan harga internasional menjadi Rp 12.000 maka harga jual juga naik menjadi Rp 9.500 per liter.
Sejatinya, Indonesia pernah menerapkan skema tersebut namun hanya bertahan sebentar sebelum kemudian kembali pada skema yang berlangsung hingga saat ini.
"Hanya bertahan 1 tahun-1,5 tahun kemudian dibatalkan dan kemudian malah memberatkan. Kalau ada subsidi fix ini sebenarnya inflasi lebih terkendali daripada di subsidi penuh (full) lantas kemudian dicabut, inflasinya akan parah," tuturnya.
Sejauh ini , kata Mirza, BI sudah menkaji dua skenario terkait pengendalian subsidi BBM. Pertama, Jika Pemerintahan Jokowi tidak menaikkan harga BBM pada tahun 2014, maka laju inflasi berada pada level 5,32 persen.
Kedua, jika pemerintahan Jokowi menaikkan harga BBM pada tahun 2014 sebesar Rp 3.000/liter maka laju inflasi berada pada level 9 persen. BI menghitung, setiap kenaikan BBM Rp 1.000/liter mempengaruhi inflasi sebesar 1,5 persen.
"Inflasi harus dikenadalikan karena kalau naik jauh lebih tinggi dari kenaikan pendapatan masayarakat, berarti secara riil pendapatan masyarakat turun," ujarnya.
Kenaikan harga BBM sendiri menurutnya dibutuhkan untuk menjaga defisit transaksi berjalan. Sekedar informasi, uang yang harus dikeluarkan pemerintah untuk impor BBM sebesar Rp37 - Rp42 triliun setiap bulannya.
Pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI telah menyepakati besaran anggaran subsidi BBM sebesar Rp 246,46 triliun dalam RAPBN-P 2014. Angka besaran subsidi yang disepakati itu tercatat naik sekitar Rp 35,2 triliun dari besaran alokasi subsidi BBM dalam APBN 2014 yang tercatat mencapai Rp 210,73 triliun.
Membengkaknya anggaran untuk subsidi BBM semakin diperparah dengan terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD yang sudah menyentuh level 12.000/USD. Pasalnya, setiap pembayaran untuk impor BBM harus menggunakan USD dimana pemerintah harus membayar melalui devisa negara.
"Nah, impor BBM ini kita harus bayar dengan devisa. Karena kita harus bayar pake dolar, bukan rupiah," sambungnya.
Sementara itu, Pengusaha dan CEO Bosowa Group Erwin Aksa mengatakan, di mata pengusaha subsidi BBM saat ini sudah tidak wajar.Tingginya subsidi BBM yang mencapai Rp 400 triliun membuat ruang fiskal semakin sempit, sehingga tidak ada ruang untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur.
Apalagi sebagian besar yang menikmati subsidi BBM adalah kelas menengah bukan masyarakat kurang mampu." Pemerintahan baru harus berani mengambil terobosan yaitu naikkan harga BBM," serunya.
Erwin mengatakan pengusaha meminta agar pemerintahan baru menaikkan harga BBM, kenaikan subsidinya Rp 1.000/liter. Kenaikan subsidi BBM harus diikuti dengan program kompensasi bagi masyarakat kurang mampu."Jangan sampai kenaikan harga BBM tidak diikuti program kompensasi," tandasnya.