TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA. Program BPD Regional Champion yang digadang-gadang akan terwujud pada tahun 2014 dipastikan akan gagal. Sebab hingga kini, sebagian besar Bank Pembangunan Daerah (BPD) masih belum mampu memenuhi tiga indikator untuk mewujudkan BPD Regional Champion.
Ada tiga indikator dalam program yang dicanangkan oleh 26 BPD di seluruh Indonesia pada 21 Desember 2010 lalu itu. Targetnya adalah tahun 2014, seluruh BPD bisa menjadi bank yang besar dan kuat di wilayah masing-masing.
Indikator pertama adalah ketahanan kelembagaan yang kuat. Caranya adalah meningkatkan permodalan sehingga semua BPD pada tahun 2014 memiliki modal inti diatas Rp 1 triliun.
Namun Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) mengakui bahwa sampai kini masih ada sekitar 13 bank pembangunan daerah (BPD) yang memiliki modal inti dibawah Rp 1 triliun.
Wimran Ismaun, Wakil Sekretaris Jenderal Asbanda mengatakan, penguatan permodalan masih jadi kendala utama banyak BPD di Indonesia. Penyebabnya, belum ada kesamaan visi dari pemangku kepentingan, mulai dari pemegang saham pemerintah daerah dan DPRD membesarkan BPD.
"Padahal BPD itu kan agen utama pembangunan ekonomi di daerah. Tapi yang sering terjadi malah benturan kepentingan karena adanya berbagai kepentingan politik,” kata Wimran saat dihubungi KONTAN, belum lama ini.
Selain itu, tak semua daerah memiliki kekayaan sumber daya alam maupun kegiatan industri yang besar. Akibatnya banyak daerah memang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang kecil. Otomatis ini membuat anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) juga menjadi kecil.
Sehingga tak heran jika kemampuan menyuntik modal besar bagi banyak BPD oleh berbagai Pemda di Indonesia masih terbatas. “Itu dialami kami di Bengkulu, daerah yang kering secara ekonomis,” pungkas pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Bank Bengkulu tersebut.
Porsi kredit
Indikator kedua adalah peningkatan peran BPD sebagai agent of regional development. Untuk itu, BPD menargetkan porsi yang lebih besar untuk kredit produktif minimal 40% dan 60% sisanya untuk kredit konsumtif.
Indikator ini diyakini penting untuk meningkatkan fungsi intermediasi BPD, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui kerja sama dengan BPR, baik melalui linkage program maupun menjadi APEX bank.
Nyatanya sampai kini, banyak BPD yang total kreditnya masih didominasi kredit konsumsi, dimana porsinya melebihi 60%.
Sebut saja Bank Sulteng yang hingga kini porsi penyaluran kredit konsumsinya 70% dari total kredit. “Porsi kredit kami seperti halnya banyak BPD lain, kredit konsumsi yang terbanyak merupakan kredit multiguna bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di instansi pemerintah daerah dimana BPD tersebut berlokasi,” kata Rahmat Abdul Haris, Direktur Utama Bank Sulteng, di Jakarta, Rabu (24/9).