TRIBUNNEWS.COM - Mantan Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi menilai, rencana penghapusan Raskin sebagai tindakan gegabah yang berisiko tinggi terhadap peningkatan jumlah masyarakat miskin.
Bayu yang baru kembali dari lawatannya ke Perancis dan Belgia mengungkapkan, Pemerintah Perancis dan kawasan Eropa dan Amerika, sedang mempelajari mekanisme program raskin untuk diterapkan di negaranya masing-masin
"Eropa melihat Raskin lebih efektif dalam menjaga ketahanan pangan masyarakat. Mereka heran, bagaimana Indonesia menjaga stabilitas pangan rakyatnya. Karena stamp food ternyata kurang efektif," ujar Bayu dalam diskusi bertema "Stop Liberalisasi Beras" yang digelar Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Senin (15/12/2014).
Dikatakan Bayu, program Raskin merupakan jaring pengaman sosial (JPS) yang mempunyai delapan fungsi sekaligus. Yakni sebagai pengadaan beras dan gabah bagi petani; stok pangan pemerintah; penjamin ketersediaan pangan bagi warga miskin; penyedia bantuan darurat pada saat bencana atau keperluan mendadak lainnya; penjaga stabilitas harga beras; 'injeksi dana pemerintah ke pedesaan, yang saat ini jumlahnya mencapai sekitar 18 triliun rupiah; instrumen peningkatan likuiditas masyarakat desa; serta pengendali inflasi nasional.
"Raskin ini sejatinya telah berlaku sejak tahun 1970. Di mana pemerintah menyediakan beras untuk PNS dan ABRI," ungkap Bayu.
Bayu menilai gejolak penghapusan Raskin tidak hanya berimbas pada inflasi, tetapi juga kekacauan di tengah masyarakat. Karena penghapusan Raskin memberi peluang bagi para spekulan untuk bermain.
"Kalau Raskin dihapus, fluktuasi harga bisa tinggi," papar Bayu.
Tentang adanya penyimpangan Raskin di beberapa sektor, menurut Bayu, seharusnya diselesaikan pemerintah dengan membenahi penyalurannya. Tidak dengan menghapus Raskin. "Terlepas dari masalah penyimpangan itu sendiri, perputaran hasil beras penyimpangan Raskin itu tetap di kelompok masyarakat berpendapatan rendah," kata Bayu.