TRIBUNNEWS.COM -- Para pemburu rente di sektor minyak dan gas bumi (migas) bisa jadi tidak bisa tidur dengan nyenyak. Alih-alih sekadar gembar-gembor dan menebar janji manis pada masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin membuktikan keseriusannya memberantas mafia migas.
Memang, Jokowi tidak turun tangan secara langsung dalam upaya membersihkan sektor migas dari ulah mafia. Tugas berat itu sebagian ada di tangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, yang kemudian membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin ekonom Faisal Basri pada pertengahan bulan lalu.
Ada empat tugas yang diemban tim yang sering disebut sebagai Tim Anti-Mafia Migas ini. Pertama, mengkaji seluruh proses perizinan dari hulu hingga hilir. Kedua, menata ulang kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan migas. Ketiga, mempercepat proses revisi Undang-Undang Migas. Keempat, merevisi proses bisnis.
Tim Anti-Mafia Migas hanya punya waktu enam bulan untuk bekerja dan memberikan rekomendasi kepada Kementerian ESDM dalam upaya memberantas praktik mafia migas.
Terkait tugas untuk menata ulang kelembagaan, Tim Anti-Mafia Migas punya tugas khusus dari Presiden Jokowi, yakni meninjau ulang keberadaan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral). Anak usaha PT Pertamina yang berdiri di Hong Kong tersebut bertugas melakukan pengadaan impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) bagi sang induk.
Sejatinya, tugas khusus itu ditujukan kepada Menteri ESDM dan Menteri BUMN. Tapi, Sudirman mengatakan, secara teknis tugas tersebut akan dikerjakan Tim Anti-Mafia Migas. Menurut Sudirman, kajian menyeluruh terhadap Petral lantaran pemerintah ingin memastikan keberadaan Petral memang bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan bukannya justru merugikan negara.
Hingga pekan lalu, Tim Anti-Mafia Migas telah melakukan pertemuan tiga kali. Tim juga sudah mengundang Pertamina untuk memberikan penjelasan terkait harga pokok penjualan BBM bersubsidi. Djoko Siswanto, anggota Tim, bilang, dari hasil pertemuan itu, terungkap fakta Pertamina selama ini ternyata mengimpor BBM berkadar oktan (RON) 92 untuk memproduksi BBM jenis premium. BBM dengan RON 92 itu kemudian diolah dengan nafta untuk menghasilkan premium dengan kadar oktan 88.
Dari pertemuan tersebut, terungkap juga, Pertamina menggunakan patokan harga premium sebesar 98,42% dari harga BBM RON 92 yang ada di pasar. Djoko menyatakan, dengan formula ini, negara memperoleh diskon harga 1,58%. Tapi, tak jelas berapa diskon yang diperoleh Petral dalam pembelian BBM RON 88. Jika Petral dapat diskon lebih besar dari 1,58%, negara rugi, kata Djoko.
Sayang, dalam pertemuan itu, perwakilan dari Pertamina tidak bisa memberi penjelasan. Sebab, urusan pengadaan impor BBM memang menjadi tanggungjawab Petral. Hingga pekan lalu, Tim Anti-Mafia Migas belum juga mengantongi data dan tanggapan dari Petral. Karena itu, rencananya Tim bakal mengundang Petral untuk bertemu dan memberikan penjelasan Rabu pekan depan. Kami tengah menyusun surat undangannya dan segera akan kami kirim, ujar Agung Wicaksono, anggota Tim yang berasal dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Mengkaji Petral
Djoko menambahkan, Tim Anti-Mafia Migas juga ingin meminta Petral memberikan data secara lengkap dan transparan terkait proses pengadaan BBM. Nantinya, Tim juga akan mengkaji keberadaan Petral yang berada di luar negeri. Sebab, Djoko mengatakan, akan lebih baik jika Petral berada di Indonesia. Dengan begitu, pengawasan terhadap kinerja Petral akan jauh lebih mudah. Pemerintah juga secara langsung bisa melakukan audit. Toh, banyak produsen minyak yang sudah punya kantor di Indonesia. Sehingga, proses pengadaan impor minyak maupun BBM bisa tetap berjalan lancar meski Petral bermarkas di Indonesia.
Selain itu, keberadaan Petral di dalam negeri pun jauh lebih menguntungkan dari sisi penerimaan negara. Dengan berkantor di Jakarta, Petral otomatis akan membayar pajak kepada Pemerintah Indonesia. Kalau pun Petral memperoleh tarif pajak lebih murah dengan berkantor di Negeri Merlion, tak akan sulit bagi pemerintah memberikan tarif pajak lebih murah. Negara akan lebih untung jika pajak masuk ke pemerintah kita, ujar Djoko.
Jika tak ada aral melintang, hasil kajian Tim Anti-Mafia Migas soal perhitungan biaya BBM dan Petral bakal selesai dalam dua pekan. Targetnya, sebelum akhir tahun, Tim bisa memberikan rekomendasi mengenai Petral kepada Menteri ESDM. Sudirman menuturkan, keputusan apakah membubarkan Petral atau mempertahankannya tergantung hasil kajian Tim yang dipimpin Faisal itu.
Sudirman menjelaskan, jika pembubaran Petral merupakan keputusan terbaik bagi negara, ia tidak segan-segan melakukannya. Namun, kalau memang pengelolaan Petral bisa diperbaiki, tentu dia memilih untuk mempertahankannya.