Bahkan menurut Direktur Utama Duta Firza ini, lembaga seperti SKK Migas harusnya bersahabat dengan pelaku usaha hulu migas. Namuan kenyataaanya, pimpinan SKK cenderung tertututp dan susah ditemui. "Jadi regulasinya sudah longgar, lembaganya juga tidak terbuka dan friendly dengan pelaku usaha,” ungkapnya.
Selain itu, imbuhnya ada logika yang tidak benar dalam tata kelola migas di Indonesia. Ia mencontohkan, BPH migas yang mengatur kegiatan hilir migas tidak memiliki komoditas, sehingga ketika terjadi persoalan BBM di beberapa wilayah di Indonesia, BPH Migas tidak dapat berbuat dan Pertamina dijadikan sasaran kemarahan.
Di Hulu pun demikian, perizinan dan penetapan wilayah kerja migas dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Migas. Tetapi Dirjen Migas tidak melakukan pengawasan. Fungsi pengawasan menjadi tanggungjawab SKK Migas. Logika birokrasi penentu kebijakan yang salah ini juga turut memberi andil bagi mafia untuk memanfaatkannya.
“Tata kelola Migas, khususnya gas ini bukan barang baru. Sejak beberapa tahun lalu sudah terjadi. Tetapi sampai sekarang pun tetap terjadi. Harus diatur dalam tata kelola gas naional dengan regulasi yang jauh lebih ketat dan memberikan kepastian bagi investor,” ungkapnya.
Kelonggaran dan ketidakpastian hukum ini menyababkan investor enggan untuk melakukan investasi melakukan kegiatan eksplorasi untuk menemukan sumber-sumber migas baru. Ibar bermain bola, ia menganalogikan, para pemain akan turun ke lapangan tentu akan memperhatikan kondisi lapangan, siapa pengadil bagaiman aturan yang dipakai dalam permainan tersebut.
“Kalau mau main sepakbola tetapi aturannya pakai aturan volly atau basket kemudian dipimpin oleh wasit yang tidak kompeten, tentu pemain akan enggan untuk turun bermain,” demikian ia menganalogikan.
Sebagai regulator dari kegiatan migas di Indonesia, pemerintah yakni Kemnetrian ESDM dan juga lembaga pengawas seperti SKK Migas ataupun BPH Migas harus bertanggungjawab terhadap kekacauan dalam tata kelola migas nasional. Jika aturan dan regulasi dibuat dengan baik dan benar, celah bagi mafia pun tidak ada.
Pelaku usaha sepenuhnya tidak bisa disalahkan. Karena setiap kegiatan yang dilakukan oleh Kontraktor Migas maupun kegiatan niaga melalui pengawasan lembaga pemerintah baik kegiatan di hulu maupun hilir migas.
Karena itu, kunci dan harapan untuk melakukan perbaikan tata kelola migas nasional adalah melalui revisi undang-undang migas. Baik Pri Agung maupun Firlie sepakat soal itu. Bahwa, slah satu kunci untuk meperbaiki tata kelola dan usaha migas di Indonesia melalui revisi Undang-Undang Migas.
Hanya saja, harapan itu mungkin tidak bisa terwujud dalam waktu dekat. Satya W Yudha, anggota Komisi VII DPR mengatakan bahwa, revisi Undang-undang Migas yang diusulkan oleh Komisis VII melalui hak angket pada periode 2009-2014 lalu, harus kembali ke tahap awal.
Seharusnya, revisi Undang-Undang Migas diparipurnakan oleh DPR periode 2009-2014. Namun sampai masa jabatan DPR lalu berakhir, ususlan revisi kandas di badan legislasi. Sesuai aturan, undang-undang yang belum sempat diparipurnakan, maka pada periode berikutnya, harus kembali ke tahap awal.
“Saya juga baru tau kalau ada aturan seperti itu. Akhirnya sekarang, kita harus memulai lagi untuk membicarakannya.
Namun demikian ia beraharap, jika usulan sebelumnya murni datang dari Komisi VII, maka sekarang ini, ususlan itu bisa datang dari pemerintah melalui Kementrian ESDM. Sehingga dengan demikian prosesnya akan lebih cepat. Apalagi, Tim Reformasi tata kelola Migas yang dibentuk pemerintah dalam tugasnya juga akan memberikan masukan terhadap perbaikan Undang-Undang migas.
Apalagi di anggota komisis VII saat ini, beberapa diantaranya termasuk dirirnya adalah anggota lama yang sebelumnya terlibat dalam pembahasan rancangan revisi Undang-Undang Migas. Jika ususlan bisa datang dari pemerintah dan disinergikan dengan pemahaman beberapa anggota DPR yang sudah terlibat sebelumnya, ia berharap bisa lebih cepat, meski harus memulai dari awal lagi.