TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri perfilman tanah air tidak perlu takut akan kehadiran film impor di Indonesia. Pasalnya, kehadiran film-film tersebut justru bisa memicu peningkatan daya saing dan kualitas film nasional. Demikian disampaikan Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Barekraf) Triawan Munaf.
Menurut Triawan, insan film harus melihat persaingan secara positif, karena pada dasarnya persaingan itu baik. Triawan mencontohkan, salah satu BUMN yakni PT Pertamina (Persero). Menurutnya, sebelum kehadiran pompa bensin asing seperti Shell, Total, dan Petronas, kondisi Pertamina sedang-sedang saja. Namun begitu kompetitor asing tersebut hadir, kualitas Pertamina justru mengalami lonjakan pesat.
“Saya tidak setuju pembatasan (film impor). Kita jangan memproteksi. Tidak perlu ditakuti, karena justru akan membesarkan pasar,” kata Triawan, Kamis (2//2015).
Dalam kacamata Triawan, yang menjadi penyebab rendahnya jumlah penonton film nasional, memang bukan karena kehadiran film impor. Pemicunya adalah, karena masih banyak film nasional yang kurang bermutu dan jumlah layar yang masih sangat terbatas.
Itulah sebabnya, peningkatan kualitas menjadi sangat penting. Karena jika tidak, maka yang rugi adalah perfilman nasional itu sendiri. Mengapa? “Karena penonton akan kapok setelah menonton film Indonesia yang kurang bermutu,” tuturnya.
Terkait peningkatan kualitas, Triawan setuju dengan adanya seleksi film. Menurutnya, seleksi bahkan bisa dilakukan oleh bioskop, karena mereka memang berhak melakukan seleksi.
Tetapi akan lebih adil, lanjutnya, jika dilakukan oleh panel yang objektif dan kredibel.
Yang tak kalah penting adalah dukungan serius dari pemerintah. Terkait hal itu, Barekraf sedang melakukan berbagai kajian. Termasuk mengenai permodalan dan kemudahan bagi insan film untuk menghasilkan karya-karya bermutu. Antara lain meliputi kemungkinan pemberian modal kepada produser film, keringanan pajak, atau pemberian insentif kepada seseorang yang memiliki usaha lain namun memberi modal kepada film. “Berbagai hal itulah yang saat ini masih kami kaji,” katanya.
Bantuan permodalan itu penting, karena untuk menghasilkan film berkualitas memang diperlukan biaya yang luar biasa. Bahkan untuk melakukan riset dan story development, insan film memerlukan dukungan dana yang tidak kecil.
Mengambil contoh di Prancis, Triawan mengatakan, di negara tersebut pemerintah membiayai para penulis film untuk menulis naskah sebagus mungkin. Selain itu, pemerintah juga membiayai produser untuk memproduksi film berkualitas berdasarkan naskah yang juga berkualitas tersebut.
“Film tersebut jelas untung, karena sudah melalui riset yang matang. Dan jika produser sudah untung, barulah mereka mengembalikan bantuan pembiayaan tersebut,” papar Triawan.
Sedangkan mengenai jumlah layar, Indonesia memang membutuhkan layar bioskop yang lebih banyak. Masih membandingkan dengan Prancis yang populasi penduduknya 60 juta dan memiliki 5 ribu layar. Seharusnya, Indonesia dengan populasi 250 juta, memiliki 20 ribu layar. “Tetapi okelah lima ribu layar saja, setidaknya itu yang kita perlukan untuk meningkatkan jumlah penonton,” katanya.
Sebelumnya, aktor kawakan Didi Petet sependapat dengan Triawan. Menurut Didi, seharusnya jumlah bioskop diperbanyak. Karena jangan lupa, lanjutnya, masih banyak masyarakat tidak bisa menonton film hanya karena tidak tersedianya bioskop di daerahnya.
Di sisi lain Didi juga tidak setuju, jika film impor dibatasi. Menurutnya, sama sekali tidak ada kaitan antara rendahnya jumlah penonton film nasional dan keberadaan film impor. “Saya kok melihat, bukan itu persoalannya. Karena sebenarnya, film impor bisa menjadi pembanding dan menjadikan perfilman nasional terus dinamis,” katanya.