TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Pemerintahan Jokowi-JK diharapkan tidak sekedar mencari solusi asal untuk mengatasi permasalahan rendahnya tingkat penerimaan pajak Triwulan Pertama 2015 dengan mengagendakan sunset policy jilid II.
Kebijakan tersebut, dianggap takkan efektif, bahkan bisa melanggar aturan UU. Jauh lebih baik bila Pemerintah membuat terobosan seperti menerapkan Tax Amnesty. Hal itu diungkapkan Sekretaris Panja Penerimaan Negara Komisi XI DPR RI, Mukhamad .Misbakhun, Selasa (14/4/2015).
Untuk mengejar rendahnya tingkat penerimaan negara dari sektor perpajakan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana menerapkan sunset policy. Kesempatan diberikan kepada wajib pajak untuk memperbaiki laporan SPT-nya dan pencatatan kegiatan usahanya selama lima tahun terakhir.
Kemudian, fasilitas perpajakan diberikan dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga.diberikan waktu sejak Mei 2015 hingga ke akhir tahun.
Misbakhun mengungkap, pihaknya mendukung bila Pemerintah berniat memperkuat usaha demi meningkatkan penerimaan pajak. Namun, diharapkan cara yang diambil harus lebih substantif dan tak bertentangan dengan UU.
Mantan Pegawai Ditjen Pajak itu menjelaskan, kebijakan sunset policy demikian sebenarnya bertentangan dengan sistem pajak nasional saat ini. Karena sistem pajak mengakui sistem self assesment yang mengharapkan kerelaan masyarakat melaporkan sendiri penghasilannya.
"Bagaimana mungkin orang kemudian diwajibkan untuk memperbaiki SPT, sementara sistem pajak masih self assesment? Apa Peraturan Kemenkeu hendak dipaksakan untuk mengubah susbtansi UU di atasnya? Ini kan rawan gugatan," jelas Misbakhun.
"Kalau mau sunset policy itu, harus diubah dulu UU-nya. Kalau dilanjutkan soal kebijakan itu, bisa banyak mendapatkan legal suit dan challenge dari masyarakat," tambahnya.
Jauh lebih positif, katanya lagi, bila pemerintah benar-benar mengeluarkan usaha ekstra dalam menjaring pemasukan pajak. Salah satu yang diusulkannya adalah sekalian melaksanakan tax amnesty.
Dengan tax amnesty, Misbakhun yakin masyarakat akan berbondong-bondong membayar pajaknya karena semua pidana bisa dikecualikan.
"Tax amnesty ini menjadi semacam rekonsiliasi nasional. Orang bersedia melaporkan pajaknya karena dia takkan dituntut terkecuali terkait terorisme dan narkoba misalnya. Ini terjadi di Afsel, India, dan Italia. Biasanya, pendapatan pajak Pemeirntahnya langsung naik," jelasnya.
Misbakhun mengingatkan, pemerintah sendiri meyakini ada dana sekitar Rp3000-an triliun yang bisa direpatriasi dengan kebijakan tax amnesty. Dari situ, seandainya Pemerintah memberikan denda 5 persen saja, bisa didapat Rp150-an triliun.
"Belum lagi pendapatan dari dana yang di dalam negeri. Di luar itu, uang yang direpatriasi akan memperkuat dana nasional di perbankan, tak perlu utang ke Luar negeri, dan tak perlu tertekan kurs USD lagi," jelasnya.
Peluang Pemerintah untuk mendapatkan persetujuan tentang tax amnesty juga sangat besar, kata Misbakhun. Kalau mau serius dibahas, kedua lembaga itu bisa menyelesaikan RUU terkait itu dengan cepat, sama seperti saat pembahasan revisi UU Pilkada.
"Paling 5 sampai 10 pasal. Setahu saya, Pemerintah punya RUU-nya. Kalau tidak, DPR bisa inisiatif. Saya harap presiden dan Menkeu sekalian membuat aturan tax amnesty. Dan supaya konsolidasi bisa dilakukan secara cepat dengan DPR," pungkasnya.