TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai bahwa menguatnya dollar AS tidak sepenuhnya mempengaruhi harga barang elektronik. Harga barang elektronik asal Tiongkok atau pun Jepang semestinya cenderung tidak mengalami perubahan meskipun dollar AS menguat.
"Kalau elektronik dari mana, elektroniknya dari China atau Jepang, tidak mustinya tidak ada kenaikan harga. Karena dia devaluasi katakanlah 6 persen, kita 20 persen, memang agak terjadi. Terjadi memang, tetapi ekspor kita tidak jauh lebih baik," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa (25/8/2015).
Atas dasar itu, Kalla menilai pemerintah belum perlu mengantisipasi kenaikan harga barang elektronik akibat penguatan dollar AS. Mata uang Garuda, menurut dia, hanya melemah terhadap dollar AS.
Kalla juga menyatakan bahwa pelemahan nilai tukar mata uang terhadap dollar AS tidak hanya terjadi di Indonesia.
"Ini masalah dunia semuanya, jadi kalau yang lain lemah, sebenarnya tak jadi soal, hanya kepada dollar. Tetapi kita dengan yen, dengan yuan, dengan ringgit, tetap saja seimbang karena masing-masing melemah," kata Kalla.
Terkait upaya meningkatkan nilai tukar rupiah, Kalla berharap para eksportir memasukkan uangnya ke dalam neggeri. "Kita harap saja bahwa pengusaha-pengusaha, eskportir yang ada uangnya di luar negeri supaya masukan uangnya ke negeri kita. Tak usah tetap saja membentuk dollar, tidak perlu tukar-tukaran," ucap Kalla.
Wapres juga menyampaikan bahwa kondisi perekonomian saat ini tidak bisa disamakan dengan 10 tahun lalu. Sebab, perekonomian dunia mengalami perkembangan sehingga faktor eksternal yang memengaruhi nilai tukar rupiah pun berbeda.
"Ada ukuran tentang daya beli. Ada ukuran tentang nominalnya. Ada ukuran perbedaan antara inflasi Indonesia dengan inflasi Amerika. Semuanya kalau itu berbeda-beda. Katakanlah daya beli, dulu 10 tahun lalu dengan satu dollar Anda bisa makan di warung padang, Rp 8.000, Rp 9.000, kan bisa kenyang 10 tahun lalu. Tetapi, sekarang, Anda tak bisa makan satu dollar di warung padang," ujar Kalla.
Wapres menyatakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan Malaysia. Daya beli masyarakat Indonesia masih sama dengan Tiongkok. Kendati demikian, ia memahami bahwa pemerintah tidak bisa menganggap enteng pelemahan ekonomi saat ini.(Icha Rastika)