TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kalangan analis pasar modal memproyeksikan indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada akhir tahun 2015 di bawah level 5.000 poin, menyusul kondisi ekonomi makro domestik dan global yang cenderung melambat.
"Kami merevisi target IHSG pada akhir tahun ini berada di kisaran 4.800--5.100 poin dari sebelumnya di level 5.800--6.100 poin," kata Kepala Riset PT OSO Securities Supriyadi, Senin (14/9).
Namun, kata Supriyadi, target indeks harga saham gabungan (IHSG) dengan asumsi pemerintah maksimal menyerap anggaran belanja untuk pembangunan infrastruktur.
"Maksimalnya penyerapan anggaran akan membuat likuiditas bertambah," ujarnya.
Ia mengemukakan bahwa beberapa faktor yang membuat perusahaan sekuritas merevisi target IHSG BEI yang telah dipatok sejak awal tahun ini salah satunya, yakni minimnya realisasi belanja anggaran pemerintah.
Situasi itu berdampak pada melambatnya laju perekonomian Indonesia.
"Di luar faktor eksternal, melambatnya perekonomian domestik berdampak pada kinerja emiten di BEI yang menurun sehingga membuat IHSG terkoreksi cukup dalam," ujarnya.
Dalam data BEI tercatat, per 14 September 2015 IHSG tergerus sekitar 20,51 persen dari level tertingginya pada tahun ini, yaitu di posisi 5.523 poin.
Kendati demikian, Supriyadi mengatakan bahwa meski IHSG BEI sedang dalam tren koreksi, investor tetap masih memiliki peluang untuk menempatkan dananya di pasar saham, yakni dengan memanfaatkan beberapa harga saham yang telah rendah nilainya dan memiliki fundamental positif.
"Situasi saat ini tentunya menjadi potensial 'gain' bagi investor. Investor juga bisa melakukan 'hit and run' atau transaksi jangka pendek pada beberapa saham," katanya.
Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang mengharapkan agar investor pasar modal membangun kewaspadaan ekstra mengingat perekonomian baik dari dalam negeri maupun global masih bergejolak.
"Di industri pasar modal, kondisi perekonomian yang melambat seperti saat ini maka kinerja IHSG BEI berpotensi akan terus tergerus. Jika tidak ada perbaikan ekonomi, skenario terburuk IHSG bisa mencapai 4.005 poin pada akhir tahun ini. Sementara itu, skenario optimis hanya bisa mencapai 4.810 poin," paparnya.
Sementara itu, Analis Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Riset konsultasi Guntur Tri Haryanto mengatakan, meski pasar modal sedang mengalami gejolak, peluang investasi di pasar modal masih tetap prospektif.
"Bila melihat dalam 10 tahun terakhir, dihitung pertumbuhan nilai IHSG sejak 2005 hingga sekarang maka telah bertumbuh lebih dari 160 persen. Atau secara rata-rata, investasi di pasar modal memberikan return sekitar 16--17 persen per tahun. Bukan suatu nilai yang kecil," katanya.
Namun, dia mengingatkan bahwa potensi imbal hasil yang tinggi itu dibarengi juga dengan tingkat risiko yang tinggi.
Investor perlu memahami bahwa investasi saham bersifat jangka panjang.
"Sudah menjadi karakternya apabila dalam horizon jangka pendek, berfluktiasi besar," katanya.
Bila optimis terhadap ekonomi Indonesia dalam jangka panjang, kata dia, investor dapat secara bertahap mengoleksi saham-saham yang berfundamental baik yang diharapkan memberikan kenaikan harga signifikan ketika ekonomi membaik. (*)