TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah e-commerce, tren berikutnya yang kini santer disebut para pengamat dunia digital sedang menyedot perhatian investor global adalah startups fintech (financial technology) di Indonesia.
Berkaitan dengan itulah, Kamis (17/9/2015) kemarin, di Jakarta, sejumlah perusahaan fintech, keuangan dan digital di Indonesia, seperti Bareksa, Kejora, CekAja, Doku, Bank Mandiri, Veritrans, dan Kartuku, meluncurkan pendirian asosiasi perusahaan teknologi finansial yang diberi nama FinTech Indonesia.
Peluncuran itu berlangsung di InvestDay 2015 yang mengangkat tema “FinTech: A Game Changer for Indonesia’s Financial World”. Acara ini dihadiri oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution, Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin, dan Regional Director IFC-World Bank Group Ivan Mortimer-Schutts, termasuk 1.600 lebih pemimpin lembaga keuangan, fund managers, komunitas FinTech dan e-commerce, serta mahasiswa. Juga, digelar ekshibisi yang melibatkan lebih dari 30 perusahaan finansial dan fintech.
"Ekonomi dunia naik dan turun, menurut istilah orang keuangan kadang ‘risk on’ kadang ‘risk off’. Akan tetapi, teknologi informasi maju dan berkembang terus. Karena itulah, kita harus mendorong pengembangan TI di hulu, supaya nilainya tidak terus lari ke luar negeri. Juga, pengembangan berbagai aplikasi seperti Go-Jek yang bisa memberdayakan ekonomi rakyat, petani, peternak, nelayan," kata Menteri Perekonomian Darmin Nasution, dalam keynote speech-nya.
"Perlu diakui regulator selalu cenderung terlambat merespons perkembangan teknologi. Karena itulah, regulator perlu selalu bekerja sama dengan asosiasi seperti FinTech Indonesia ini, dan komunitas bisnis," ujar Darmin.
"Meski pasar modal sedang dalam ‘bearish’ mode, para investor digital global justru sedang ‘bullish’ terhadap startups fintech di Indonesia," kata Karaniya Dharmasaputra, Founder/CEO Bareksa (portal finansial dan marketplace reksa dana). "Fintech kini dipandang sebagai supercar, ibarat Ferrari atau Maserati-nya dunia digital," ujarnya.
Salah satu contohnya, menurut Karaniya, adalah CyberAgent Ventures asal Jepang yang belum lama ini mengumumkan bahwa separuh dari fund baru mereka, total 50 juta dolar AS, akan dialokasikan untuk startups Indonesia, dimana fintech akan menjadi fokus utama.
"Kami berharap FinTech Indonesia dapat menjadi mitra pemerintah untuk membangun ekosistem dan mendayagunakan teknologi finansial untuk memperluas jangkauan dan memperdalam penetrasi dunia keuangan kita, serta mendukung target OJK mencapai 5 juta investor individual di tahun 2017 nanti," kata Karaniya menjelaskan misi FinTech Indonesia.
Sebastian Togelang, Founding Partner Kejora (perusahaan pengembang startups) yang juga merupakan inisiator FinTech Indonesia mengungkapkan Fintech memegang peranan sangat penting dan akan menjadi salah satu tulang punggung di dunia finansial di Indonesia.
"Fintech dapat digunakan untuk mendidik, meningkatkan transparansi, mempermudah proses, sehingga menambah efisiensi dan menjangkau banyak pengguna hingga ke seluruh pelosok Indonesia. Semua ini akan berdampak positif bagi jumlah nasabah dan pengguna jasa finansial untuk membantu mendongkrak perekonomian di Indonesia," katanya.
FinTech dan Financial Inclusion
Selain itu, fintech punya posisi strategis untuk mendorong program financial inclusion yang kini menjadi salah satu ‘mantra’ dalam program pembangunan di mana-mana.
Hal itu dipaparkan John Patrick Ellis, Founder/CEO CekAja dan Compare88 Group.
"Layanan teknologi finansial adalah cara inovatif dan inklusif untuk merangkul jutaan warga Indonesia masuk ke dalam sektor perbankan dan jasa keuangan. Teknologi dapat menjadi jembatan akses dan menciptakan kondisi inklusif yang penting buat laju pertumbuhan ekonomi."
"Seiring ekonomi kita bertumbuh, dan semakin banyak warga yang hidupnya menjadi lebih sejahtera, menyediakan akses terhadap layanan keuangan yang layak adalah fondasi perekonomian yang penting. Di era teknologi ini, peran layanan keuangan berevolusi, dan FinTech Indonesia adalah sebuah inisiatif untuk ikut berperan serta dalam dialog di area ini, secara konstruktif, positif, dan inklusif," ungkapnya.
Financial inclusion merupakan tantangan global. Data Bank Dunia memperkirakan di tahun 2015, masih ada sekitar 2 miliar orang yang belum memiliki rekening bank (unbanked).
Dan Indonesia masih menjadi bagian dari tantangan ini.
Di tahun 2014, cuma 36 persen warga Indonesia berumur 15 tahun ke atas yang tercatat memiliki rekening bank dan keuangan. Angka ini tergolong salah satu yang paling rendah di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Persoalan serupa, kata Karaniya juga membelit dunia investasi di Indonesia. Tingkat penetrasi dan literasi investasi masih teramat rendah.
Dibandingkan negara-negara lain, nilai dana kelolaan (asset under management) reksa dana di Indonesia cuma sekitar 2 persen dari PDB. Padahal, di Amerika Serikat total AUM sudah mencapai 82 persen PDB, Malaysia 49,6 persen, Thailand 20,3 persen dan Filipina 19,5 persen. Apalagi, jangan dibandingkan dengan Singapura, yang sudah mencapai hampir 500 persen dari PDB.
Jumlah investor reksa dana di Indonesia pun masih sangat sedikit. Jumlahnya kini, menurut data OJK, diperkirakan baru sekitar 162 ribu orang.
Artinya, ini cuma sekitar 0,07 persen dari total populasi; jauh tertinggal dibandingkan AS yang telah mencapai 85 persen, Malaysia 51 persen, dan bahkan Thailand yang sudah 2,2 persen.
Karena itu, Karaniya menekankan, teknologi finansial menawarkan solusi untuk mengatasi berbagai persoalan ini.
"Bukan hanya ibarat Maserati yang mengkilat, fintech juga sejatinya adalah pedati yang teramat penting untuk financial inclusion, untuk menghantarkan sebagian masyarakat kita supaya segera masuk ke dalam sistem keuangan modern" ungkapnya.