TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rencana pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung oleh pemerintah terus menuai kritikan.
Menteri Perhubungan (Menhub) tahun 1973-1978, Emil Salim melihat pola proyek bussines to bussines, namun sejatinya yang terlibat dalam bisnis itu ialah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
"Sehingga bila ada kerugian bisnis dalam usaha kereta cepat maka risiko bisnis harus ditanggung BUMN yang pemegang sahamnya adalah negara atau pemerintah," kata Emil kepada wartawan, Kamis (22/10/2015).
Dirinya juga mempertanyakan alasan mengapa Menteri BUMN Rini Soemarno bisa menyingkirkan kebijakan Menteri Perhubungan yang tidak mengutamakan proyek kereta cepat.
Namun, jika kemudian ada kesulitan keuangan, persaingan antarmoda transportasi kereta cepat dengan sarana angkutan kereta api dan angkutan jalan raya sehingga secara makro merusak sistem perhubungan Jakarta dengan Bandung.
"Menteri mana yang bertanggunjawab? Jika ada kecelakaan kereta cepat Jakarta-Bandung, menteri siapa yang bertanggungjawab?" Kata Emil.
Sementara itu soal alih teknologi sistem kereta cepat, dirinya juga mempertanyakan pengkajian soal siapa yang lebih unggul untuk diadaptasi sistemnya di Indonesia.
"Apakah kewajiban transfer teknologi ke Indonesia sudah menjadi keharusan dalam deal dengan Tiongkok ini? Apakah sudahkah diperhitungkan dampak geo-politik pilihan Tiongkok ketimbang Jepang dalam perkembangan politik pembangunan Indonesia dalam perkembangan global masa depan?" Kata Emil.
Emil mengaku curiga Menteri BUMN mampu melakukan semua itu dengan tangan sendiri.
"Kekuatan politik manakah yang mendukungnya dan dengan manfaat rugi bagi negara yang bagaimana?. Apakah semua ini sudah diperhitungkan jika dia (Menteri BUMN) sangat dekat dengan Jokowi? Mengapa Menko Maritim dan Sumberdaya Rizal Ramli berdiam-diri dalam hal ini?" kata Emil.