Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo menilai RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang sedang dibahas di DPR, harus memberikan jaminan bahwa dunia perbankan tidak lagi dengan mudah mengandalkan dana talangan dari Pemerintah saat menghadapi permasalahan.
"Dengan kata lain jangan ada lagi pameo saat bank untung maka pemodal yang menikmati tapi saat bermasalah atau rugi maka pemerintah yang menanggung," kata Andreas dalam pernyataannya, Minggu (29/11/2015).
Selain itu menurut Andreas, UU JPSK wajib merujuk pada UUD 1945 khususunya Pasal 33 Ayat 4 bahwa, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Politikus PDI Perjuangan itu menuturkan, penyelesaian masalah sistem keuangan jika perekonomian berada pada kondisi tidak normal, seharusnya tidak memberikan preferensi untuk systemic importance bank (SIB) dapat dibantu dan tidak merekomendasikan dana publik dalam penyelesaiannya.
Tetapi lebih menekankan bail-in atau self-insured yang dilakukan oleh pemilik lembaga keuangan dan atau kreditor itu sendiri, dengan sejak awal melalukan recovery dan resolution planing yang diawasi secara ketat oleh otoritas lembaga keuangan.
"Hal ini sejalan dengan peer review of Indonesia, Financial Stability Board 2014 agar JPSK tidak memberikan pernyataan atau harapan bahwa dana tersebut tersedia untuk menghindari motif moral hazard bagi pelaku industri keuangan," tuturnya.
Indonesia kata Andreas, telah memiliki pengalaman pahit bahwa model bail out yang selama ini dilakukan untuk menyelamatkan institusi perbankan selalu bermasalah secara hukum dan politik. Dikatakannya, dengan adanya UU JPSK nantinya kebijakan-kebijakan yang dilakukan harus steril dari permasalahan hukum dan politik.
"Karena itu RUU JPSK 2015, hasus berpegang pada prinsip dasar memperkuat arsitektur otoritas pengawas lembaga keuangan dalam hal ini BI, OJK, LPS dan Kementerian Keuangan terutama dalam pencegahan dan melindungi dana publik, serta memperkuat tata kelola dan akuntabilitas," ujarnya.
Selain itu, JPSK jangan hanya terfokus pada soal SIB sebagai pemicu krisis tetapi mesti mencakup sektor keuangan lebih luas yakni bank dan non-bank. Tujuannya adalah untuk mencegah efek domino terhadap kegagalan sistem keuangan secara sistemik.
"Hal tersebut terkait dengan misi JPSK yang juga sebagai kerangka pencegahan krisis. Potensi krisis tidak hanya dari perbankan tapi bisa juga dari sektor lain seperti permasalahan pada sistem pembayaran dan likuiditas di pasar uang," katanya.
Lebih jauh Andreas mengatakan, lembaga yang menangani krisis pun harus dipersiapkan secara tepat. Saatnya Indonesia memiliki Dewan Manajemen Krisis. Model tersebut juga sudah dilakukan di beberapa negara maju seperti Jepang inggris dan dalam praktiknya cukup efektif.
"Dengan adanya UU JPSK ini selanjutnya akan menjadi dasar dalam melakukan revisi UU lain yang terkait, yakni UU bank Indonesia, UU Otoritas Jasa Keuangan dan UU Lembaga Penjamin Simpanan," tandasnya.