TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pakar pertanian berharap pemerintah dapat melihat sagu sebagai komoditas utama yang berpeluang menjadi salah satu komponen utama dalam memantapkan ketahanan pangan nasional.
Hal itu terkait komitmen pemerintah Indonesia terhadap pembangunan ketahanan pangan nasional di tengah – tengah laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan juga mulai terbatasnya lahan sawah.
“Harapan kami ini tentunya dilandasi oleh beberapa fakta menarik – namun yang utama adalah mengingat luasnya areal sagu di Indonesia yang melebihi dari 90% total luas areal sagu di dunia - yaitu 5,5 juta hektar dari total 6,5 juta hektar area sagu di dunia. Selain itu, sagu juga merupakan tanaman / tumbuhan penghasil karbohidrat potensial yang memiliki nilai gizi tidak kalah dengan sumber pangan lainnya. Dan yang terakhir adalah mengingat tingkat produksi sagu yang lebih tinggi dibanding sumber pangan lainnya, sehingga seharusnya sagu menjadi komoditas prioritas utama pemerintah untuk dapat memenuhi komitmennya akan ketahanan pangan nasional,” ujar Prof. Hasyim Bintoro, seorang pakar sagu dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Selasa (24/5/2016).
Saat ini pengembangan sumber karbohidrat seperti padi dan jagung masih terkendala pada masalah luasan lahan yang semakin sedikit, terutama di Pulau Jawa yang lahannya sudah banyak beralih fungsi. Selain itu, banyak dari sumber karbohidrat tersebut yang dalam masa penanamannya sangat bergantung pada cuaca dan membutuhkan perhatian ekstra dalam proses pemeliharaan.
Sementara itu, sagu banyak tumbuh secara alami dalam bentuk hutan yang tersebar dari pesisir timur hingga hingga pesisir barat Indonesia. Dalam pengusahaannya pun sagu sangat ekonomis karena tidak ada peremajaan dan hanya membutuhkan perhatian minim dalam proses pemeliharaanya. Karena tanpa dipelihara pun, pohon sagu tetap mampu menghasilkan pati sagu yang tinggi. Sebuah studi yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa IPB dan mahasiswa dari Jepang membuktikan bahwa dengan ataupun tanpa dipupuk, sagu tetap dapat menghasilkan pati sagu. Selain itu, karena populasinya yang tinggi, serangan hama dan penyakit tanaman tidak akan merugikan tanaman sagu.
Pati sagu memiliki kandungan gizi tidak kalah bahkan lebih baik dibandingkan dengan bahan pangan lainnya seperti beras, jagung, singkong maupun gandum. Kadar serat dalam pati sagu sangatlah tinggi sehingga pati sagu lama terlarut dan teserap sehingga dapat memberikan rasa kenyang lebih lama. Selain itu pati sagu juga baik bagi penderita diabetes, karena indeks glikemiknya yang rendah. Pati sagu juga tidak mengandung glutein, sehingga berpotensi sebagai pengganti gandum.
Bagi orang-orang yang fanatik makan nasi, pati sagu ini apabila dicampur dengan tepung jagung bisa menjadi beras sagu. Beberapa keunggulan beras sagu adalah selain berbahan baku lokal, rendah kadar glikemik, kadar serat yang tinggi dan beras sagu ini juga bersifat organik (tanpa pupuk maupun pestisida). Dari segi sosial ekonomi, pengembangan beras sagu dapat merangsang tumbuhnya industri kecil lokal sehingga menciptakan lapangan kerja dan mengurangi impor beras untuk mendukung kedaulatan pangan nasional.
Selain menjadi nasi, sagu pun sangatlah cocok untuk dijadikan bahan dasar mie. Menurut sebuah penelitian, Indonesia merupakan Negara pengonsumsi mie terbesar kedua di dunia setelah Tionghoa.
“Di tahun 2008 saja, nilai impor terigu Indonesia sudah mencapai 22,5 triliun rupiah, dan akan terus meningkat karena tanaman gandum yang merupakan bahan baku terigu tidak dapat tumbuh di Indonesia,” ujar Dr Bambang Hariyanto, perekayasa di Pusat Teknologi Agroindustri (PTA) – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Berdasarkan hal tersebut, PTA BPPT telah melakukan pengembangan mie sagu. Hal ini patut dilakukan karena bukan hanya potensi pasar yang menjanjikan namun dengan memanfaat bahan baku lokal, Indonesia dapat mengurangi impor terigu dan menghemat devisa Negara.
Selanjutnya, Dr. Bambang Hariyanto menambahkan bahwa sagu memiliki kandungan karbohidrat yang sangat tinggi sehingga mie berbahan dasar sagu tidak memiliki efek negatif bagi usus. Sedangkan terigu kaya akan gizi lainnya seperti protein dan lemak yang memiliki sifat mengembang. Sagu juga diketahui mengandung resisten starch yang bertahan lama di usus dan dapat menjadi probiotik yang berguna untuk melancarkan pencernaan. Hal ini mematahkan keyakinan masyarakat bahwa mengkonsumsi terlalu banyak mie dapat berbahaya bagi usus. Mengkonsumsi mie sagu secara rutin juga diyakini dapat menjaga kesehatan terutama bagi penderita diabetes. Dan dari segi keawetan, jika disimpan dengan kadar air sama, mie sagu akan lebih tahan lama dibanding mie terigu.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, terbukti bahwa apabila sagu dimanfaatkan secara optimal, sagu sangat mungkin menggantikan komoditas penghasil karbohidrat lainnya (padi, jagung, gandum dll). Bahkan hasil penelitian BB Pasca panen menunjukkan pati sagu di Papua telah memenuhi SNI.
Namun demikian, para ahli melihat bahwa pengembangan tanaman sagu di Indonesia masih sangat terbatas dibandingkan dengan pengembangan pangan lainnya. Bahkan di Maluku sekalipun, tempat dimana sagu merupakan pangan utama, saat ini cenderung beralih ke beras. Menurut para ahli, hal ini terjadi karena beberapa faktor seperti banyak transmigran dan pemerintah daerah yang men–konversi lahan sagu menjadi lahan sawah yang tentunya berakibat pada turunnya produksi sagu. Selain dari itu, banyak masyarakat setempat maupun nasional yang beranggapan bahwa beras merupakan komoditas yang lebih “bergengsi” dan dapat meningkat status sosial dibandingkan dengan menanam sagu.
“Sagu adalah sebuah komoditas yang potensial dan menarik. Dan saya yakin apabila dikelola secara baik dan berkelanjutan, tidak akan diragukan lagi selain dapat mendukung komitmen pemerintah dalam ketahanan pangan, tentunya juga dapat menjadi sumber pangan potensial untuk memenuhi kebutuhan kalori seluru penduduk Indonesia,” ujarnya.