TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Kabar tentang rencana pelepasan saham PT Indo Met Coal (IMC) membuat BHP Billiton mendatangi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Selasa sore (24/5/2016).
Petinggi BHP Biliton diterima Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot.
Presiden Direktur PT BHP Billiton Indonesia Imelda Adhisaputra menyatakan, pertemuan ini melaporkan rencana kajian strategis operasi tambang di Indonesia kepada pemerintah.
"Hanya laporan biasa. Strategic review," kata Imelda.
Imelda membantah pertemuan itu menyampaikan rencana penjualan saham IndoMet Coal termasuk rencana menghentikan operasi tambang di Kalimantan Tengah.
"Belum sampai ke arah itu. Masih strategic review," ujarnya sembari bergegas ke mobilnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot membenarkan pertemuan dengan petinggi BHP belum membicarakan rencana pelepasan saham.
"Mereka belum mengatakan begitu. Jadi eksekusinya belum jelas dan tidak bisa diomongkan begitu (mau melepas saham)," ujarnya.
Kata Bambang, BHP melaporkan rencana kajian strategis kepada pihaknya.
Kajian itu antara lain evaluasi kinerja perusahaan.
Dia menegaskan jika BHP benar melepas sahamnya maka harus melaporkan ke pemerintah.
"Kalau ada perubahan (komposisi saham), harus minta persetujuan pemerintah," jelas Bambang.
Kabar rencana hengkangnya BHP Billiton dari Indonesia membuat anggota Komisi VII DPR RI, Dito Ganinduto meminta Pemerintah turun tangan mengevaluasi kinerja BHP dan memanggil perusahaan tambang asal Australia tersebut.
“Tidak bisa main pergi begitu saja, harus sesuai aturan,” kata dia.
Dito mengatakan, kewajiban-kewajiban itu sudah tertuang dalam kontrak karya ketika mendapat izin penambangan.
Pemerintah juga didesak untuk tidak begitu saja menyetujui keputusan BHP untuk ‘angkat kaki’ dari Indonesia tanpa kompensasi apapun.
Kompensasi itu bisa diserahkan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan semestinya BHP Billiton menaati aturan main dalam melakukan bisnisnya terutama mengenai investasi mereka di Indonesia.
“Di dalam bisnis itu ada aturan mainnya, kalau mereka sudah sekian tahun belum produksi dan terus keluar tentu kan adapunishment baik dalam bentuk share-nya harus ke perusahaan nasional sekian persen,” kata Komaidi.
Investasi BHP
Saat ini, BHP Billiton menguasai 76% saham IMC, sisanya dimiliki PT Adaro Energy Tbk. PT IMC memegang tujuh konsesi PKP2B proyek batubara di Kalimantan.
Yakni, PT Lahai Coal, PT Ratah Coal, PT Juloi Coal, PT Pari Coal, PT Sumber Barito Coal, PT Kalteng Coal dan PT Maruwai Coal.
BHP Billiton merupakan pemegang saham terbesar di proyek PT Indomet Coal yang berada di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Di tahun 2010, BHP Billiton melepas 25 persen saham PT IMC ke PT Adaro Energy Tbk senilai US$ 335 juta.
Melakukan eksplorasi sejak tahun 1997, IMC baru melakukan penjualan komersial batubara perdana pada September 2015 lalu.
Selama 20 tahun memegang konsesi 7 proyek pertambangan, BHP Billiton baru menggelontorkan investasi US$ 100 juta di PT Lahai Coal yang berlokasi di Haju, Kalimantan. Sementara di 6 proyek lainnya masih belum bisa menghasilkan.
Berdasarkan data tersebut, para analis menilai BHP Billiton sebenarnya sudah berpotensi mendapat keuntungan US$ 200 juta dari investasinya di IMC.
Hasil tersebut diperoleh dari transaksi penjualan saham kepada PT PT Adaro Energy senilai US$ 335 juta dan dengan mempertimbangkan investasi yang telah mereka keluarkan hanya sebesar US$ 100 juta.
Jejak investasi BHP Billiton sangat berbanding terbalik dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) lain di area Kalimantan Timur. Contohnya PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Memulai konstruksi di Januari 1989 senilai US$ 570.000.000 lalu dilanjutkan konstruksi dalam skala besar setahun kemudian, PT KPC sudah melakukan ekspor komersial di bulan Januari 1992.
Di dua tahun terakhir, produksinya melebihi 50 juta ton per tahun. Dari sisi royalti, Laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) 2010 dan 2011 mencatat PT KPC konsisten menduduki peringkat kedua dari 10 perusahaan minerba dengan royalti terbesar.
Pada 2011 membayar royalti Rp 1,63 triliun.
Perusahaan lainnya yakni PT Berau Coal yang memulai PKP2B di Berau, Kalimantan Timur pada tahun 1983, pada 1993 sudah melakukan uji coba produksi (bulk sample) dan dijual ke pasar India (Tamil Nadu Electricity Board).
Pada 2011, produksinya mencapai 19 juta ton dengan besaran royalti Rp 306 miliar.