TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Modernisasi dan praktik terbaik perikanan serta pemanfaatan probiotik yang lebih optimal dapat membawa Indonesia sebagai negara akuakultur papan atas dunia.
Ipsos Business Consulting, sebuah lembaga konsultan bisnis berbasis fakta dalam hasil studi terbarunya menyebutkan akuakultur (pertambakan) adalah sektor produksi pangan yang tumbuh paling cepat secara global.
Indonesia merupakan produsen akuakultur terbesar keempat di dunia walau baru memanfaatkan 7,38 persen luas potensialnya.
Jika sektor ini terus tumbuh dengan tingkat pertumbuhan seperti saat ini, proyeksi oleh WorldFish Foundation menunjukkan bahwa akuakultur akan tumbuh lebih dari 10,1 juta metrik ton per tahun, menciptakan 8,9 juta pekerjaan tetap, dengan nilai pasar USD 39,5 milyar pada tahun 2030.
Hal ini menunjukan potensi yang luar biasa mengingat bahwa lebih dari 80% dari usaha perikanan Indonesia pada tahun 2014 masih usaha rumah tangga tradisional dan nelayan, yang memanfaatkan teknologi sederhana.
Domy Halim, Senior Consulting Manager di Ipsos Business Consulting menyampaikan, bertambahnya permintaan seafood global, produksi akuakultur diharapkan mengambil peran lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan perikanan tangkap di masa depan.
"Dukungan pengetahuan dan teknologi yang tepat, Indonesia berada di posisi yang sangat baik untuk menjadi pemimpin pasar global," kata Domy.
Pembudidayaan udang bukanlah bebas risiko mengingat wabah penyakit seperti penyakit white feses (WFD) dan sindrom virus white spot (WSSV) dapat mengurangi tingkat bertahan hidup udang hingga di bawah 30 % dan bahkan memusnahkan seluruh hasil panen.
Juanri, Konsultan Senior di Ipsos Business Consulting, mengatakan minimnya pengobatan efektif untuk penyakit udang, petani hanya mengandalkan langkah-langkah preventif untuk meningkatkan kesehatan udang.
"Salah satu alternatif yang sering ditemukan adalah penggunaan probiotik," katanya.