TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Setelah 12 tahun tidak ada perjanjian perdagangan antar negara (bilateral), Pemerintahan Presiden Joko Widodo mencoba membuka kembali kerjasama perdagangan bilateral.
Kali ini Australia yang akan menjadi partner perdagangan Indonesia.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong mengatakan, perjanjian ini akan dilakukan sebelum akhir 2016.
Awalnya kerjasama ini akan dilakukan pada 4 November lalu, namun karena situasi politik menghangat akhirnya kujungan Presiden Jokowi ke Australia dibatalkan.
"Meskipun Pak Presiden batal ke Australia, namun tetap mengutus Mendag dan saya untuk melakukan pertemuan dan mengerjakan perjanjian dagang dengan Australia," ujar Thomas, Kamis (17/11/2016).
Ada lima sektor yang akan diteken dalam perjanjian tersebut. Namun, baru satu memorandum of understanding (MoU) kerjasama.
Yaitu, di sektor pertambangan emas yang dilakukan oleh Aneka Tambang (Antam) dan Newcriest Mining.
Sayangnya, Thomas tidak merinci keempat sektor lainnya.
"Tadinya mau ada beberapa MoU yang mau ditandatangani, namun karena Presiden tidak bisa datang karena situasi politik waktu itu menghangat, maka baru satu MoU yang ditandatangani," ungkap Mendag.
Kerjasama ini dilakukan mengingat investasi negara Kanguru di Indonesia masih minim, padahal dua negara ini lokasinya sangat berdekatan.
Kerjasama ini juga dalam rangka meningkatkan investasi di Indonesia. Apalagi setelah banyaknya reformasi birokrasi dan deregulasi, banyak investor Australia yang ingin masuk.
Terlebih Australia terdiri dari banyak perusahaan manufaktur dan mereka membutuhkan komoditas, dan itu berada di Indonesia.
Jadi kerjasama perdagangan ini akan sangat menguntungkan satu sama lain.
"Mereka juga terus mencari peluang baru, karena mereka sangat tergantung pada komoditas bijih besi, batubara dan lainnya," papar Thomas.
Pengamat Perdagangan, Ina Primiana mempertanyakan perjanjian bilateral dengan Australia.
Menurutnya, sudah banyak perjanjian multilateral.
Yang seharusnya dilakukan pemerintah saat ini seharusnya bukan memperbanyak perjanjian perdagangan, tapi memperbaiki neraca perdangan dengan negara yang sudah ada perjanjian yang negatif.
Reporter: Hasyim Ashari