“Sehingga untuk membangun negara melalui APBN, penerimaan ini menjadi hal utama melalui pajak, tak bisa kita mengandalkan lagi, dulu kan ada penerimaan dari migas dan sebagainya, tetapi penerimaan pajak ini harus dimaksimalkan, karena masih banyak wajib pajak yang belum melaksanakan kewajibannya,” ujarnya.
Diketahui, beberapa waktu lalu, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Profesor Gunadi yang juga Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan, menyesalkan perbedaan besaran pajak antara Inalum dengan PLN yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara. Mestinya kata dia, pajak keduanya tidak perlu dibedakan.
“Kalau ke PLN lebih rendah, kenapa ke Inalum dikenakan pajak lebih berat. Pajak PAP (pajak air permukaan) itu obyektif, bukan subyektif, jadi mestinya diberlakukan sama,” katanya.
Menurutnya, pajak air permukaan (PAP) yang dikenakan Inalum merupakan pajak obyektif. Hal itu juga sama dengan yang digunakan oleh PLN.
“Inalum pajak obyektif, karena obyeknya. Ini kan bahannya sama dengan PLN, lalu kenapa beda. Ini pajak obyektif jadi kayak subjektif, mestinya sama. Dia kan sama-sama produk listrik,” tegas Ketua Tax Center FISIP UI ini.
Gunadi juga meminta agar Peraturan Daerah yang dikeluarkan Pemerintah Sumut tidak memberatkan perusahaan-perusahaan milik negara.