TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Provinsi Sumatera Utara diminta bersikap adil saat menentukan besaran pajak perusahaan.
Hal tersebut terkait kisruh pajak air permukaan (PAP) antara PT Indonesia Asahan Alumunium (PT Inalum) dengan Pemprov Sumatera Utara.
"Pajak itu harus adil dan memperhatikan kemampuan perusahaan,” ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo saat menjawab pertanyaan wartawan mengenai perbedaan besaran PAP antara Inalum dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang juga merupakan bagian dari BUMN, Kamis(29/12/2016).
Menurut Lukita, yang namanya pajak progresif tidak bisa begitu saja mengabaikan perolehan dari perusahaan itu sendiri.
“Untuk PAP sendiri saya coba lihat dulu. Tapi yang pasti, pajak harus memperhatikan kemampuan perusahaan. Makanya pajak itu kan progresif, sesuai dengan kelompok-kelompoknya sendiri,” jelasnya.
Ia mencontohkan adanya pajak untuk usaha kecil menengah dengan perolehan di bawah Rp4,8 miliar memiliki ketentuan yang lebih meringankan. Itu juga sama dengan pajak terhadap perseorangan.
“Untuk individu juga ada pendapatan yang tidak kena pajak, sampai batas pendapatan tertentu, mereka tidak kena pajak, itu ada,” jelasnya.
Oleh karenanya, ia menegaskan bahwa pemerintah, termasuk Pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus memerhatikan aspek keadilan tersebut.
“Jadi prinsipnya adalah progresif dan adil,” tegasnya.
Selain itu, Pemprov Sumut kata dia, juga harus memperlakukan perusahaan-perusahaan di wilayah tersebut secara adil. Sebab, ketentuan nominal pajak mestinya juga diukur secara sama antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
“Aturan ketentuan nominal, gak ada. yang ada sesuai dengan di PT yang lain. PT lain mendapat keuntungan sekian persen ada kelompok-kelompoknya, maka wajib terkena PPH badan, tapi setelah mereka untung, pemerintah bisa menarik lagi melalui deviden,” jelasnya.
Ketika ditanya, apakah pajak terhadap BUMN memiliki aturan tersendiri? Ia membantahnya. Menurutnya, pajak terhadap BUMN sama dengan perusahaan-perusahaan pada umumnya.
“Enggak ada ketentuan khusus, sama seperti PT Perusahaan biasa, jadi sesuai keuntungan mereka, ya mereka wajib kena pajak,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Sesmenko Perekonomian juga menanggapi soal reformasi pajak yang dinilainya saat ini sudah menjadi kebutuhan. Ia menyebutkan bahwa ke depan potensi-potensi pajak harus digali lagi karena tax ratio Indonesia masih relatif rendah.
“Sehingga untuk membangun negara melalui APBN, penerimaan ini menjadi hal utama melalui pajak, tak bisa kita mengandalkan lagi, dulu kan ada penerimaan dari migas dan sebagainya, tetapi penerimaan pajak ini harus dimaksimalkan, karena masih banyak wajib pajak yang belum melaksanakan kewajibannya,” ujarnya.
Diketahui, beberapa waktu lalu, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Profesor Gunadi yang juga Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan, menyesalkan perbedaan besaran pajak antara Inalum dengan PLN yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara. Mestinya kata dia, pajak keduanya tidak perlu dibedakan.
“Kalau ke PLN lebih rendah, kenapa ke Inalum dikenakan pajak lebih berat. Pajak PAP (pajak air permukaan) itu obyektif, bukan subyektif, jadi mestinya diberlakukan sama,” katanya.
Menurutnya, pajak air permukaan (PAP) yang dikenakan Inalum merupakan pajak obyektif. Hal itu juga sama dengan yang digunakan oleh PLN.
“Inalum pajak obyektif, karena obyeknya. Ini kan bahannya sama dengan PLN, lalu kenapa beda. Ini pajak obyektif jadi kayak subjektif, mestinya sama. Dia kan sama-sama produk listrik,” tegas Ketua Tax Center FISIP UI ini.
Gunadi juga meminta agar Peraturan Daerah yang dikeluarkan Pemerintah Sumut tidak memberatkan perusahaan-perusahaan milik negara.