Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Program Pengampunan Pajak (tax amnesty) menjadi kebijakan yang menyita perhatian seluruh kalangan masyarakat pada tahun ini, baik itu pro maupun kontra.
Melalui pengampunan pajak, pemerintah berharap dapat tambahan suntikan dana untuk menutupi kekurangan penerimaan negara pada 2016 dan diharapkan mendongkrak penerimaan pajak tahun-tahun mendatang.
Diketahui perjalanan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (tax amnesty) cukup panjang di parlemen.
Namun pada 28 Juni 2016 akhir Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan RUU Pengampunan Pajak menjadi Undang-Undang.
Bambang Brojonegoro yang waktu itu masih menjabat Menteri Keuangan mengungkapkan, empat tujuan pemerintah menjalankan program pengampunan pajak yang berakhir pada Maret 2017.
Pertama, menarik dana wajib pajak asal Indonesia yang berada di luar negeri (repatriasi).
Kedua, meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketiga, meningkatkan basis perpajakan nasional, dimana aset yang disampaikan dalam permohonan pengampunan pajak dapat dimanfaatkan untuk perpajakan yang akan datang.
"Keempat tax amnesty untuk meningkatkan penerimaan pajak tahun ini. Kebijakan ini menghasilkan penerimaan negara dari uang tebusan yang dibayarkan wajib pajak," tutur Bambang waktu itu.
Setelah disetujui DPR, pemerintah langsung menjalankan program pengampunan pajak dan membagi tiga periode dengan besaran tarif tebusan berbeda-beda.
Periode pertama, Juli 2016 hingga September 2016 bertarif 2 persen untuk repatriasi dan deklarasi luar negeri 4 persen.
Periode kedua, Oktober 2016-Desember 2016 dengan tarif 3 persen untuk repatriasi dan deklarasi 6 persen.
Kemudian, periode keempat memiliki tarif 5 persen untuk repatriasi dan 10 persen untuk deklarasi luar negeri.
Sementara untuk UMKM tidak mengalami perubahan tarif hingga akhir periode pengampunan pajak, mulai 0,5 persen hingga 2 persen.