TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan konsorsium Pertamina-Marubeni-Sojitz sedang adu kuat. Tepatnya dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLGU) Jawa I berkapasitas 2x800 Megawatt (MW).
Supangkat Iwan Santoso, Direktur Pengadaan PLN, mengatakan tanda tangan power purchase agreement (PPA) belum bisa terlaksana pada Senin (23/1/2017), karena masih ada proses negosiasi.
Padahal sebelumnya PLN tegas menyatakan, tidak akan memberikan tenggat waktu lagi ke Pertamina.
Iwan mengklaim, pemberian waktu tambahan itu karena ada komitmen kesiapan dari konsorisum Pertamina-Marubeni-Sojitz.
Apalagi mereka memiliki tiga kepala, sehingga masih ada beberapa hal yang masih dibahas ketiganya.
"Kami memberikan waktu maksimal sampai akhir pekan ini untuk ketiganya berembug agar bisa menyetujui dokumen PPA," ujarnya dikutip Kontan, Senin (23/1/2017).
Menurutnya, pemberian kesempatan itu agar konsorsium Pertamina-Marubeni-Sojitz bisa mengkaji lebih matang mengenai dokumen PPA yang telah dikirimkan.
Artinya, tidak hanya Pertamina yang siap, tapi juga Marubeni dan Sojitz.
I Made Suprateka, Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN, menambahkan, dari PLN jelas, dokumen PPA tidak bisa dinegosiasikan.
Menurutnya, tidak boleh mengubah klausul dalam tender terbuka yang sudah dibicarakan sejak awal, sebelum masa tender dimulai dan ditentukan pemenang.
Karena itu, diharapkan dengan diberikan waktu lagi , konsorsium sepakat dengan kontrak PPA yang ditawarkan PLN.
Jika konsorsium tidak mau memenuhi PPA, ada dua kemungkinan, pemenang nomor dua dan ditender ulang.
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam Ahmad Redi menjelaskan, PPA bagian dari rezim kontrak, yang hanya bisa batal demi hukum dengan dua syarat kondisi.
"Pertama, pihak-pihak yang terlibat bersepakat mengubah atau membatalkan secara keseluruhan. Kedua, dibatalkan oleh pengadilan,” kata Redi, dalam keterangan tertulis.
Ginanjar, VP Gas dan Power Commercialization PT Pertamina, sekaligus Ketua Konsorsium PLTGU Jawa I mengatakan, ada isu bankability yang harus diselesaikan.
Isu yang merebak, Pertamina meminta dokumen LNG sale and purchase agreement (SPA) dan kepastian grace period (masa kekosongan pasokan) LNG yang harus diserahkan ke calon kreditur.
PLN menetapkan grace period 30 hari per kargo, tapi Pertamina meminta 15 hari. Iwan membantah soal SPA LNG itu tidak ada di proposal of request Pertamina saat mengajukan penawaran.
"Penyediaan LNG harus ada kepastian pembeli, dalam hal ini PLTGU Jawa I sebagai off taker, jangan dibolak balik," ungkap dia. PLN sudah berkomitmen dengan BP di Train III Tangguh.
Inas Nasrullah Zubir, Wakil Ketua Komisi VI DPR menyatakan, isu bangkability bukan pasokan LNG, tapi soal take or pay yang mestinya harus 60%, bukan seperti keinginan Pertamina: 87%.
"Take or pay seumur pembangkit ini (25 tahun), apa mau dirugikan terus itu negara? Kalaupun untung bukan untuk Pertamina, tetapi Marubeni, karena saya tahu investasi terbesar itu Marubeni," ungkap dia.
Menurut dia, agar adil, PLN sebaiknya tender ulang.
Reporter: Andy Dwijayanto/Azis Husaini/Febrina Ratna Iskana