Pada 2030, kebutuhan energi Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 2,8 juta barrel oil equivalent (BOE), atau hampir tiga kali lipat dari kebutuhan energi saat ini.
Dibutuhkan langkah tepat dari Pemerintah untuk menjamin ketersediaan energi di masa mendatang khususnya yang berasal dari produksi migas domestik.
Penetapan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 08/2017 yang mengatur perubahan aturan kontrak bagi hasil sektor migas menjadi gross split –sebelumnya cost recovery– oleh sebagian kalangan dipandang kurang pas dan mengurangi daya tarik investasi, karena pembuatan aturan tersebut lebih cenderung hanya memperhatikan satu pihak saja.
Seharusnya, pembuatan kebijakan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, yakni Pemerintah dan Investor.
Aturan pada permen baru tersebut mendapat banyak sorotan dari publik ataupun pengamat.
“Kepemilikan barang dan peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik/ kekayaan negara, fleksibilitas untuk memilih skema antara gross split atau cost recovery yang masih ambigu dan angka bagi hasil yang ditetapkan pemerintah dalam peraturan tersebut, adalah beberapa hal dari Permen ESDM No. 08/2017 yang kiranya perlu di kaji ulang,” kata Pri Agung.
Pemerintah, kata dia harus menggandeng pelaku dan pengamat industri migas dalam mencari skema terbaik, untuk mengentaskan Indonesia dari resiko krisis energi yang saat ini terjadi.