TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan geram dengan sikap Inpex Corporation, operator Lapangan Abadi, Blok Masela, Laut Arafuru, Maluku. Pasalnya, perusahaan asal Jepang itu sudah enam bulan ini belum menuruti perintah Jonan untuk membuat desain dua skenario penyaluran gas dan dua skenario untuk lokasi kilang darat.
Jonan bahkan mengancam akan mencabut hak partisipasi Inpex Corp di Blok Masela. "Kalau belum pre-front end engineering design (feed) atau pendefinisian proyek saya batalin saja Inpex-nya. Kelamaan," ujar Jonan, Rabu (3/5/2017).
Jika pre feed usai, dokumen feed menjadi patokan dalam pengerjaan proyek oleh operator.
Jonan menjelaskan, sudah enam bulan dirinya memimpin Kementerian ESDM, tapi Inpex belum juga melakukan pre feed Blok Masela. Untuk itu Jonan mengultimatum Inpex agar secepatnya melakukan pre-feed. "Saya hilang kesabaran," tegasnya.
Menurut mantan Menhub itu, dengan pre feed tersebut pemerintah bisa memutuskan alokasi produksi gas dari total produksi gas Masela sebesar 10,5 million ton per annum (MTPA). Dengan pre-feed pula lokasi pembangunan kilang liquefied natural gas (LNG) bisa ditentukan.
Ada dua skenario yang diminta, yakni Inpex harus melakukan pre-feed untuk kapasitas 9,5 juta ton per tahun plus gas pipa 150 mmscfd dan 7,5 MTPA plus gas pipa 474 mmscfd. Inpex juga harus melakukan pre-feed untuk dua lokasi. Pemerintah memutuskan agar Inpex melakukan pre-feed di Pulau Aru dan Pulau Yamdena.
Sambil membuat pre-feed dan sebagainya, mereka juga harus survei pasar. "Kira-kira permintaan Kementerian Perindustrian real apa tidak, tinggal menentukan total produksi gas pipa, berapa yang bukan gas pipa. Tapi total sudah sepakat 10,5 MTPA tinggal dibagi saja," jelas Jonan.
Sedangkan Inpex santai menanggapi ancaman Menteri ESDM. Senior Manager Communication and Relation Inpex, Usman Slamet menjelaskan, Inpex memang belum melakukan pre-feed. Pasalnya Inpex dan pemerintah masih perlu berdiskusi terkait proyek Blok Masela.
"Kami masih terus berkomunikasi dengan pemerintah. Masih ada beberapa hal yang masih perlu dibicarakan dengan pemerintah." kata Usman.
Sementara, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan pemerintah tidak bisa membatalkan secara sepihak kontrak dengan Inpex. Ini jika kontrak yang telah ditandatangani memakai skema kontrak bagi hasil alias production sharing contract (PSC).
"Jika masih PSC atau kontrak sulit. Mereka bisa arbitrase, mengingat kedudukan para pihak dalam kontrak sejajar," jelasnya.
Namun jika mekanisme antara pemerintah dan Inpex adalah skema menggunakan izin lebih mudah. Bisa saja pemerintah mencabut izin tersebut.
Komaidi juga bilang, wajar jika pemerintah mengultimatum Inpex, karena proyek Masela juga merupakan kepentingan nasional. "Namun sampai pembatalan saya kira tidak sederhana. Saya melihat, ini lebih sebagai pesan agar Inpex lebih serius dan komitmen dengan apa yang telah disepakati kedua belah pihak," ungkapnya.
Namun jika sampai pemerintah memaksa mundur Inpex dari proyek Blok Masela, maka dampak utamanya adalah proyek tersebut akan semakin mundur. Sementara mencari pengganti Inpex di Blok Masela tidaklah mudah. "Cari penggantinya tentu tidak sederhana dan butuh waktu," imbuhnya.
Dari kacamata positif jika Inpex didepak dari proyek Masela, akan ada kesempatan bagi perusahaan nasional untuk menggantikan Inpex. Dengan begitu nilai tambah bisa lebih banyak dinikmati pihak Indonesia.
"Tentu nilai tambahnya akan lebih banyak kita (Indonesia) nikmati. Namun jika penggantinya non perusahaan nasional masih perlu dilihat lebih jauh lagi," terang Komaidi.
Reporter Febrina Ratna Iskana