TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, dari Januari Februari 2017 nilai ekspor garmen Indonesia 1,26 miliar US$, naik 6,5 % dibanding periode sama tahun lalu. Sementara ekspor produk tekstil tertekan 2,5 % menjadi 733 juta US$ di Januari-Februari tahun ini.
Redma Gita Wiraswasta, Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), menyoroti soal permasalahan industri hulu tekstil Indonesia yang menunggu kebijakan pembatasan impor tekstil dari pemerintah.
"Impor harusnya dibatasi hanya untuk produsen yang mengekspor seluruh produknya saja," katanya di sela talk show bisnis di Ibis, Jakarta (3/5/2017).
Redma mengatakan, di 2016 jumlah kain impor di Indonesia tercatat hampir 700 ribu ton. Sementara industri hulu tekstil mengekspor kain sebesar 500 ribu ton di tahun lalu. "Jadi bisa dipastikan banyak sekali produk impor yang masuk ke pasar lokal," sebutnya.
Merujuk data BPS, sampai dengan tahun 2016 nilai impor produk tekstilIndonesia ialah 6,7 juta US$. Nilai tersebut naik 2,9 % dibanding tahun sebelumnya, yakni 6,5 juta US$.
Muhdori, Direktur Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki dan Aneka Kemenperin menyatakan masih mengkaji tahap demi tahap soal industri tekstil dan garmen ini.
"Kalau dari industri garmen itu sebenarnya kan cuma minta beban biaya listrik jangan sampai beban puncak, cukup flat saja. Artinya jangan fluktuatif," ujarnya saat talk show berlangsung (3/5).
Ia menegaskan sebenarnya pemerintah tidak alergi terhadap impor. Menghadapi masalah tersebut, impor boleh dilakukan sesuai kebutuhannya. Soal perundingan bilateral, saat ini pemerintah tengah mengusahakan hal tersebut.
"Khususnya dengan Amerika. Mungkin juli ini sudah terlihat hasilnya," katanya.
Reporter Agung Hidayat