News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

BPS: Dari 91.000 Ton Tembakau Impor, 47,6 Persen Berasal dari China

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petani tembakau tengah melakukan proses topping disebuah lahan tembakau yang tergabung dalam program Integrated Production System (IPS) di Desa Sukowono, Jember, Jawa Timur.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia dinilai bisa menerapkan kebijakan bea masuk tinggi demi melindungi kepentingan para petani tembakau di dalam negeri dari serbuan impor.

Penerapan kebijakan itu dinilai tidak bertentangan dengan perjanjian internasional karena mengacu demi melindungi kepentingan nasional negara bersangkutan.

Merujuk data BPS, tahun lalu dari total tembakau impor mencapai 91 ribu ton, kontribusi tembakau China mencapai 47,6 persen.  

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng (AEPI) mengemukakan, saat ini banyak negara mendahulukan kepentingan nasional mereka, terutama sektor yang memberi dampak ekonomi signifikan dalam setiap negosiasi regulasi perdagangan. 

Di Indonesia, tembakau yang ditanam petani, ikut berkontribusi mendorong ekonomi.

Salah satu instrumen perdagangan bebas yang dapat digunakan untuk melindungi kepentingan dalam negeri adalah Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT).  

“Dalam konteks Indonesia, upaya pembatasan perdagangan tembakau dapat difokuskan pada isu impor tembakau. Adapun instrumen yang bisa  digunakan yakni bea masuk (tarrif) yang tinggi pada impor tembakau,” tegas Daeng, Selasa (30/5/2017). 

Pemerintah bisa menggunakan bea masuk tinggi, dengan alasan perlindungan pada hak asasi petani dalam menanam tembakau yang sudah tergerus oleh produk impor dan juga alasan lingkungan hidup.  

Daeng menjelaskan, TBT merupakan perjanjian dalam World Trade Organization (WTO) menyangkut pembatasan perdagangan atas dasar kepentingan nasional suatu negara.

TBT berkaitan dengan promosi terhadap standar internasional, berkaitan dengan masalah kesehatan, lingkungan hidup dan hak asasi manusia.

Negosiasi dan pengaturan TBT dalam WTO, kata Daeng, meliputi seluruh produk pertanian dan industri, namun tidak termasuk di dalamnya isu sanitary dan phitosanitary karena telah diatur sebagai bentuk pembatasan perdagangan tersendiri.  

Isu tembakau sendiri, ditegaskan Daeng, diakomodir dalam TBT sejak Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di deklarasikan dan FCTC diadopsi oleh WTO.

Ini artinya, TBT dapat diberlakukan pada negara-negara yang meratifikasi FCTC itu sendiri atau  masih mungkin pada negara-negara yang telah mengadopsi FCTC ke dalam UU negara tersebut.  

Namun Pemerintah Indonesia mesti menghindari penggunaan FCTC sebagai landasan memberlakukan TBT karena dapat menjadi bumerang dalam isu-isu lainnya.

Argumentasi pembatasan perdagangan dapat dilakukan dengan alasan lain seperti lingkungan dan hak asasi manusia atau kepentingan fiskal policy.

Pemerintah pun harus hati-hati dan teliti agar tidak tabrakan dengan regulasi yang sudah ada. Misal perdagangan bebas  ASEAN (FTA) yang telah menetapkan bea masuk 5 % untuk impor tembakau sehingga Indonesia bisa dinilai tidak menerapkan azas pemberlakuan yang sama antar negara. Belum lagi, negara yang menjalankan TBT besar kemungkinan akan menemui sengketa atau protes. 

Misal, dalam praktik TBT yang dijalankan Australia, digugat dan dihadapkan dengan dua perjanjian yakni Bilateral Investment Treaty (BIT) dan issue sanitary and Phitodanitary di WTO. 

Untuk itu, sambil menganalisa peluang penerapan TBT, pemerintah dalam waktu dekat harus fokus pada penguatan pertanian tembakau dan kapasitas industri, sehingga mampu mandiri dalam penyediaan bahan baku dan barang modal dalam industri tembakau dan rokok, serta lebih jauh adalah ketahanan ekonomi petani.

“Itulah cara kita menghadapi perdagangan bebas yang sering kali disepakati oleh hanya segelintir pihak yang memiliki power," tandas Daeng.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menambahkan, pengenaan bea masuk tinggi untuk tembakau impor, dimungkinkan namun penerapannya perlu hati-hati.  

Ini berkaitan dengan aspek legal atau perjanjian internasional yang sudah diteken pemerintah Indonesia dengan negara lain. Termasuk dengan China yang notabene pemasok tembakau impor terbesar untuk Indonesia. 

Pengenaan tarif bea masuk tinggi oleh negara, kata Yustinus, baru dimungkinkan ketika dari sisi pasokan tembakau baik kualitas dan kuantitas sudah mencukupi. Namun, melihat kondisi Indonesia, terkesan ada 'dongeng' seakan-akan pasokan tembakau melimpah padahal tidak berdasar data.

"Secara gamblang, memang secara kualitas dan kuantitas ada keterbatasan dari pasokan tembakau lokal,” tegasnya. 

 
Reporter: Yudho Winarto

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini