TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rembuk Nasional 2017 telah menyelesaikan pembahasan guna memberikan rekomendasi kepada pemerintah pada 3 tahun masa jabatan.
Salah satu bidang rembuk adalah sektor ekonomi yang pada 2017 mengambil tema “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional yang Berkualitas melalui Revitalisasi Industri dan Pengembangan Industri Ekonomi Digital”.
Ketua Tim Perumus Bidang Ekonomi, Industri dan Perdagangan Hendri Saparini, mengatakan acara rembuk nasional khususnya dalam bidang ekonomi ini bertujuan mencari masukan dari semua pemangku kepentingan, bagaimana cara meningkatkan kualitas pertumbuhan melalui industri dan industri digital melalui lima pilar.
“Tidak ada lagi alasan era perlambatan karena negara tetangga bisa tumbuh 6 persen,” katanya, di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Senin (23/10/2017).
Nantinya masukan-masukan yang ada akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dalam acara penyampaian rumusan rekomendasi rembuk nasional.
Hendri menuturkan, dalam mengidentifikasi masukan untuk produsen, banyak informasi timbul dari kalangan pelaku usaha yang meliputi proses praproduksi, produksi dan pascaproduksi.
Pada proses praproduksi, kalangan pengusaha mengeluhkan sulitnya mendapatkan bahan baku, minimnya modal untuk UMKM dan pelaku usaha dengan kepala keluarga perempuan, serta suku bunga kredit perbankan yang belum juga turun.
Pada sisi produksi, masukan kepada pemerintah meliputi pentingnya riset dan regulasi yang bisa memberikan kepastian bagi dunia usaha.
"Sedangkan pada sisi pascaproduksi, para usahawan membutuhkan perhatian pemerintah terutama dari sisi harga, perlindungan dari persaingan yang tidak sehat, serta pengaturan tata niaga dan sistem logistik nasional," katanya.
Menurut Faisal Basri, ekonom, titik simpul utama yang harusnya menjadi masukan ke Presiden adalah sektor manufaktur. Sektor ini vital karena selain memiliki sumbangan pajak yang tinggi, yaitu sebesar 30 persen.
Sektor ini menyerap barang dari sektor pertanian juga menjadi titik sentral pengambangan R&D yang berguna memperkokoh daya saing nasional.
“Saya kira kita perlu membangun prioritas katakanlah dengan fokus pada 4 industri dulu misalnya makanan dan minuman; farmasi, kimia dan herbal; komputer dan optikal; serta transport equipment,” tuturnya.
Untuk membangun industri manufaktur tentu harus memperhatikan aspek perencanaan dan pelaksanaan. Tantangan yang sudah di depan mata bukan saja AFTA melainkan FTA walaupun bilateral.
Selama ini ada pengusaha Indonesia masih memanfaatkan FTA dari kemudahan impor saja sedangkan belum menggali bagaimana memasukkan barang ke negara mitra.
Rahmat Gobel, mantan Menteri Perdagangan menyarankan, untuk membangun ekonomi yang berkualitas, pemerintah harus memperhatikan dan mengharmonisasikan tarif (ekspor) serta regulasi (kebijakan).
“Harmonisasi kebijakan itu penting agar tidak saling tumpang tindih. Misalnya, untuk urusan impor serahkan saja ke menteri perdagangan. Jangan sampai terjadi dualisme pengelolaan misalnya ada kebijakan impor sapi yang di Kementerian Pertanian tetapi ada juga yang di Kementerian Perdagangan,” katanya memberikan kesimpulan.