Pernyataan itu sebagai bukti peneguhan sikap profesional sebagai pengusaha BBM kelas dunia dengan perhitungan yang cermat .
“Berdasarkan fakta tersebut, semestinya manajemen Pertamina saat ini bisa berkaca diri dan memperbaiki diri agar bisa lebih efisien dengan menelisik di bagian mana proses bisnisnya yang masih terjadi ketidakefisienan dalam proses pengadaan BBM dari hulu ke hilir,” ucapnya.
Yusri menegaskan, pihak Pertamina bukannya malah dengan mudahnya menuding kesalahan itu kepada pemerintah.
“Ibarat pepatah ‘muka buruk cermin dibelah’, apa yang ditampilkan oleh Massa Manik merupakan sikap fatal dari sebuah hubungan antara orang tua dengan anak,” tegasnya.
Di sisi lain, berdasarkan temuan Yusri Usman, proses pembelian minyak mentah dan BBM di ISC (Integrated Supply Chain) Pertamina masih didominasi oleh trader.
Contohnya seperti lebih memilih Glencore dibandingkan produsen seperti major oil company (MOC), national oil company (NOC), atau pemilik kilang.
“Hal itu diduga menjadi salah satu biang kerok dari ketidakefisienan di Pertamina. Asal tahu saja bahwa fungsi ISC itu secara struktur terletak di leher direktur utama serta di bawah kendali dan tanggungjawab penuhnya,” katanya.
Yusri juga menemukan adanya ‘disposisi maut’ oleh mantan Direktur Pengolahaan Pertamina Chrisna Damayanto pada 29 Januari 2013 soal penggunaan katalis Albermale yang berdasar ‘yield naptha’ boleh diturunkan dari 50 persen hingga 52 persen menjadi 48 persen.
“Kondisi itu diduga juga menjadi salah satu penyebab ketidakefisienan di kilang Balongan yang harus diusut tuntas dan dibenahi. Mengingat konsumsi premium solar yang besar, sekitar 80 persen dari total BBM nasional, seharusnya kekisruhan dugaan kemahalan harga oleh Pertamina juga menjadi prioritas utama dari Menteri Luhut,” ujarnya.