TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik rencana revisi perjanjian jual beli listrik atau power purchasment agreement (PPA) kepada perusahaan listrik swasta atau independent power producer (IPP) yang sudah berusia 10 tahun masih terjadi.
Tak tanggung-tanggung kali ini Kementerian Koordinator Bidang Maritim tak sepakat dengan rencana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, revisi PPA itu dapat menggangu iklim investasi yang ada dan bisa dianggap menyulitkan investor.
Revisi PPA itu, kata Luhut bertentangan dengan pernyataan Bank Dunia yang memberikan banyak apresiasi kepada Indonesia, karena dianggap sebagai salah satu negara terbaik dalam iklim investasi.
"Kalau PPA itu sudah final, jangan lagi ada evaluasi. Kalau memang amendemen itu prosesnya di PPA itu. PPA tanda tangan sudah selesai, sudah final," terangnya di Kantor Kementerian Kemaritiman, Kamis (23/11/2017).
Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menambahkan, PPA itu sudah memiliki landasan hukum.
"Kalau proyek sudah ditandatangani kontraknya, seharusnya tak bisa ditinjau ulang. Karena kontrak sudah sah secara hukum," kata dia.
Menurutnya, peninjauan kontrak semestinya dilakukan sebelum perjanjian jual-beli diteken. Sehingga perjanjian tersebut dapat dipegang oleh kedua pihak.
"Pertanyaannya, kenapa tidak dikaji atau tinjau sebelum PPA diteken? Buat apa ada kontrak PPA kalau sewaktu-waktu bisa diubah," ujar Arthur. Dia memastikan, peninjauan ini akan menimbulkan kesan kepada investor dan pengembang listrik bahwa aturan dan perjanjian bisa berubah-ubah setiap saat.
Sekretaris Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Agus Tribusono menyatakan tujuani revisi PPA untuk IPP ini supaya harga listrik ke konsumen juga bisa turun.
"Tapi kalau memang tidak perlu direvisi ya tidak apa-apa. Apalagi yang sudah memakai 85% dari BPP," terangnya kepada KONTAN, saat ditemui di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (23/11/2017).
Ia menilai wajar untuk revisi PPA listrik swasta di Jawa lantaran belum pada tahapan konstruksi. Apalagi, belum mendapatkan jaminan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sebab, belum ada kesepakatan yang mengikat.
Sementara untuk revisi PPA listrik yang 10 tahun keatas akan dilaksanakan cukup melalui bussines to bussines (B to B) antara IPP dan PLN.
"Sesuai dengan klausul dalam PPA listriknya kan, kalau ada perubahan harus ada kesepakatan kedua belah pihak," tandasnya.
Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan apabila setelah diliat PPAnya terlampau mahal, akan dinegosiasikan untuk bisa dievaluasi.
"Kalau sistem lain murah, Jawa lain murah, transmisi selesai, daripada beli mahal kita matikan saja kita bayar dendanya (take or pay) tiap bulan kita evaluasi terus menerus," terang Sofyan.
Sementara itu, Pengamat Energi dan Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai jika memang harga jual listrik ke PLN kemahalan, tidak ada salahnya dikoreksi. Ia menyodorkan contoh, PT Adaro Energy Tbk tetap saja melanjutkan kontrak meski terjadi penurunan harga jual.
"Jadi wajar jika ada evaluasi, artinya ada kepentingan bangsa lebih besar untuk menjual tarif dasar listrik (TDL) ke rakyat dengan harga terjangkau ketimbang pertahankan iklim investasi kondusif," ujar Fahmy.
Terkait hal ini, Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ikut-ikutan mengevaluasi harga jual listrik. SP PLN mengklaim, berdasarkan survei yang dilakukan mereka, selain PLTU Jawa 3 dan PLTU Cirebon II, harga jual listrik sejumlah PLTU yang mesti direvisi. Namun SP PLN belum bersedia memberi data itu.
Baca: BPJS Kesehatan Akan Minta Keluarga Pasien Ikut Tanggung Biaya Medis Penyakit Gawat, Apa Saja?
Jumadis Abda, Ketua Umum SP PLN mengatakan, pada 28 Agustus 2015 sudah pernah mengingatkan Direktur Utama PLN Sofyan Basir soal porsi swasta yang terlalu besar di program 35.000 MW+ fast track program 7.000 MW.
Saat itu PPA listrik swasta itu belum ditandatangani, lengkap dengan kajiannya. "Kami katakan PLN akan menanggung rugi Rp 140 triliun per tahun apabila seluruh pembangkit tersebut selesai dibangun," ungkap dia, Kamis (23/11/2017).
Jumadis menyatakan, jika proyek itu berjalan semua maka reserve margin atau cadangan listrik Indonesia bisa 80%. "Mayoritas oleh swasta dengan take or pay. Ambil tidak diambil kWh-nya, PLN harus bayar," ujarnya.
Tak ada jalan lain, PLN harus mengevaluasi program itu dan porsi swasta dipangkas.
Reporter: Pratama Guitarra