TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk sementara waktu, peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bisa lega.
Usai dibanjiri protes, pemerintah akhirnya menolak usulan bagi-bagi beban biaya atau cost sharing dengan peserta BPJS Kesehatan untuk pengobatan penyakit yang membutuhkan perawatan medis lama serta berbiaya tinggi (katastropik).
Dengan kata lain, BPJS Kesehatan masih menanggung seluruh biaya pengobatan katastropik.
Ide cost sharing nan kontroversial itu tak lepas dari pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang masih kedodoran. Maklum, BPJS Kesehatan keteteran menjalankan program ini. Neraca keuangan BPJS Kesehatan terus defisit akibat tingginya beban klaim peserta.
Baca: Andi Narogong Mengaku Pernah Berikan Jam Tangan Seharga Rp 1,3 Miliar untuk Novanto
Nah, salah satu usulan mengurangi beban, BPJS Kesehatan akan menerapkan cost sharing dengan peserta, khusus untuk pengobatan penyakit katastropik. Tapi, akibat dibanjiri protes, pemerintah menolak ide tersebut.
Nila Moeloek, Menteri Kesehatan menegaskan, pemerintah tidak berniat melibatkan peserta untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan. "Tidak ada poin untuk cost sharing," tandas Nila, Rabu (29/11).
Fahmi Idris, Direktur Utama BPJS Kesehatan mengamini. "Tetap ditanggung semua oleh BPJS Kesehatan. Tak ada soal itu (cost sharing)," kata Fahmi.
Kata Nila, pemerintah akan membenahi keuangan BPJS Kesehatan sesuai opsi hasil rapat koordinasi defisit BPJS Kesehatan di Kantor Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Termasuk, efisiensi biaya pelayanan tanpa mengurangi mutu pelayanan.
Hingga semester I-2017, defisit BPJS Kesehatan tercatat mencapai Rp 5,6 triliun. Adapun total biaya katastropik sepanjang sembilan bulan 2017 mencapai Rp 12,29 triliun. Jumlah itu setara 19,68% dari total seluruh biaya pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan. Dana tersebut mengucur bagi 10,80 juta kasus.
Nah, salah satu pilihan menekan defisit BPJS Kesehatan, pemerintah akan menambalnya. Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan, pemerintah akan mengalokasikan Rp 3,6 triliun dari pos belanja lain-lain APBN-Perubahan 2017 untuk menambal defisit itu. "Tinggal daftar isian pelaksanaan anggaran dikeluarkan. Mungkin awal tahun nanti bisa dikeluarkan. Tapi belum pasti juga," imbuh Kunta.
Pajak rokok
Opsi lain, menggunakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) senilai Rp 5 triliun. Tapi, kata Kunta, opsi tersebut masih dikaji.
Pengamat pun ikut urun rembuk soal defisit BPJS Kesehatan. Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengusulkan pemerintah memakai pajak rokok dan menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Pajak rokok yang akan masuk ke kas daerah, harusnya langsung dipotong, karena daerah wajib menyisihkan 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk iuran program jaminan kesehatan nasional.
Hitungan dia, ada potensi dana Rp 6 triliun. "Kalau itu diserahkan ke pemda, belum tentu disiplin bayar. Iuran jaminan kesehatan daerah (jamkesda) saja banyak yang menunggak," imbuh Timboel.
Dirjen Anggaran Kemkeu, Askolani mengatakan, pemerintah masih mengkaji opsi tersebut. Menurutnya, opsi cukai rokok, sokongan 10% dari APBD dan efisiensi BPJS Kesehatan masih belum diputuskan. "Opsi-opsi sudah ada, tapi masih didiskusikan lebih lanjut," ujar dia.
Berita Ini Sudah Dipublikasikan di KONTAN, dengan judul: Usulan cost sharing BPJS Kesehatan ditolak