TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lingkar Studi Perjuangan (LSP) mengimbau pemerintah untuk melakukan inovasi kebijakan dan meninggalkan rumus Bank Dunia, guna mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen.
Rumus Bank Dunia dalam mengejar pertumbuhan, dinilai LSP melalui penumpukan utang, pengetatan anggaran, dan peningkatan pajak berlebihan.
”Saat ini, rasio pembayaran utang (debt service) terhadap ekspor Indonesia sudah lampu kuning (39 persen), jauh di atas batas aman 25 persen,” kata peneliti Lingkar Studi Perjuangan Gede Sandra di Jakarta, Jumat (21/12/2017).
Mengutip proyeksi Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) yang dirilis pada 13 Desember lalu, kata Gede, pertumbuhan ekonomi rata-rata negara berkembang di kawasan Asia tahun ini berada di kisaran 6 persen.
Sementara, dengan mengeluarkan negara-negara Asia yang maju industrinya, pertumbuhan ekonomi rata-rata naik ke 6,5 persen pada 2017.
”Indonesia, yang selama ini kerap membanggakan diri karena keanggotaannya di negara G20, pada kuartal III 2017 pertumbuhannya ternyata di bawah rata-rata Asia, dan Asia Tenggara yang sebesar 5,2 persen. Pada kuartal III pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,06 persen, masih 1-1,5 persen di bawah pertumbuhan rata-rata Asia,” ujarnya.
Gede menambahkan, langkah pemerintah dengan melakukan pemotongan anggaran untuk program yang inefisien memang tepat, tetapi bukan untuk memotong program-program yang mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.
"Pada saat ingin ekonomi bertumbuh cepat, pajak seharusnya justru dilonggarkan. Nanti bila ekonomi sudah kencang, barulah pajak dapat kembali diuber,” katanya.
Dongkrak Pertumbuhan, Pangkas Utang
Secara khusus, Gede mengajak khalayak bercermin dari keberhasilan pemerintah Indonesia pada era Gus Dur, dimana usia pemerintahan Gus Dur yang hanya 21 bulan tetapi capaian pemerintahan Gus Dur di bidang ekonomi terbilang istimewa.
”Padahal, di awal kepemimpinannya, Gus Dur menerima warisan perekonomian dari Presiden Habibie dalam kondisi pertumbuhan -(minus) 3,” tutur Gede.
Setelah hampir tiga bulan bekerja, pertumbuhan ekonomi di penghujung tahun 1999 sudah berada di level 0,7 persen atau melompat 3,7 persen.
Setahun berikutnya, perekonomian Indonesia kembali berhasil tumbuh ke level 4,9 persen atau melompat 1,2 persen, sedangkan pada 2001, Gus Dur dimakzulkan di pertengahan tahun, rata-rata pertumbuhan ekonomi di akhir tahun masih berada pada level 3,6 persen.
"Selama era Gus Dur, tim ekonomi berhasil mengurangi beban utang sebesar 4,15 miliar dolar AS," ucapnya.
Di penghujung era pemerintahan Gus Dur, menurut Gede, koefisien gini ratio tercatat paling rendah di Indonesia sepanjang 50 tahun terakhir, yakni 0,31.
Terdekat dengan pencapaian ini hanya era Soeharto pada 1993 dengan gini ratio 0,32. Bedanya, Soeharto perlu 25 tahun untuk menurunkan gini ratio hingga ke angka ke 0,32 pada 1993.
"Sedangkan Gus Dur hanya perlu kurang dari dua tahun untuk menurunkan koefisien gini ratio dari 0,37 pada 1999 ke 0,31 pada 2001," ujarnya.