TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Instistut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengungkapkan, peregerakan harga beras yang saat ini terjadi sudah terlihat sejak Agustus 2017 lalu.
Dwi mengatakan, seharusnya pemerintah memiliki langkah antisipasi guna mengatasi gejala kenaikan harga beras dari jauh-jauh hari dibanding memilih jalan importasi beras.
"Ini sudah dimulai sejak Juli-Agustus 2017 sudah lama, pas saat itu penggilingan padi kecil tutup enggak mendapatkan gabah, harganya juga sudah mulai meningkat," ujar Dwi Andreas kepada Kompas.com, Jumat (12/1/2018).
Menurut dia, pada saat Juli hingga Agustus 2017 harga gabah sudah mencapai Rp 4.500 per kilogram hingga Rp 5.000 per kilogram.
"Tapi itu tidak direspons oleh pemerintah, Menteri Pertanian tetap dengan klaim-klaim yang bombastis itu, surplus-surplus terus," sebutnya.
Selain itu, jumlah produksi gabah pada tahun 2017 lalu diprediksi akan menurun jika dibandingkan dengan 2016 lalu, sebab pada 2017 lumbung-lumbung sawah tengah mengalami serangan hama wereng dan rumput kerdil.
"Dari hitungan kami yang terdampak sekitar 400.000 hektar, itu tidak diakui oleh Kementerian Pertanian tetap ngotot dengan datanya yang jelas salah," ujar Dwi yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI).
Dia pun menilai, keputusan impor beras tersebut sudah terlambat, karena sebentar lagi akan memasuki masa panen. "Sekarang ini ketika diputuskan impor, sudah amat sangat terlambat, walaupun Mendag menyatakan barang akan masuk di akhir Januari ini," katanya.
Dikhawatirkan, beras impor tersebut justru akan menganggu harga gabah yang dipanen petani.
Berita Ini Sudah Dipublikasikan di Kompas.com, dengan judul: Gejolak Harga Beras Sudah Terjadi Sejak Agustus 2017